ISU hak asasi manusia selalu menjadi tameng terhadap penyimpangan seksual. Mulai dari LGBT hingga perzinahan.
Pasca disahkannya RKUHP beberapa hari lalu, pro kontra bermunculan. Menariknya, yang kontra lebih mencermati pasal 411 tentang perzinahan. Pelaku perzinahan dalam pasal ini, bisa dihukum penjara selama satu tahun atau pidana denda dengan sebuah ketentuan.
Tidak tanggung-tanggung, dikabarkan komisi hak asasi manusia sekelas PBB pun melayangkan kritik. Menurut mereka, hal tersebut melanggar HAM.
Padahal di pasal tersebut, deliknya bersifat aduan. Jika suami atau istri, atau orang tua mengadukan kasus perzinahan, maka hal tersebut bisa diproses aparat penegak hukum. Delik aduan itu pun bisa dicabut selama proses hukum belum dilakukan.
Dibenturkan dengan Isu HAM
Lagi-lagi, pihak-pihak yang tidak ingin kasus perzinahan dihukum mendalihkan sebagai pelanggaran HAM. Hal serupa juga didalihkan untuk kasus LGBT.
Jadi, demi hak asasi manusia, seolah manusia boleh melakukan apa pun meskipun melanggar hukum agama dan mengorbankan hak orang lain.
LGBT melanggar hukum agama, bukan hanya Islam, karena akan merusak hal lain. Seperti hubungan alami pria dan wanita, juga populasi umat manusia.
Begitu pun dengan perzinahan. Selain melanggar hukum agama, juga akan memunculkan eksploitasi kaum perempuan, selain juga akan merusak tatanan keluarga.
Bukankah hak asasi manusia bukan tanpa batas. Hak asasi seseorang dibatasi oleh hak asasi orang lain. Yaitu, dilakukan dengan tidak melanggar hukum dan norma apa pun.
Contoh, semua orang berhak untuk mendengarkan suara seperti musik atau lainnya. Tapi, tidak boleh melanggar ketenangan istirahat orang lain.
Orang dari belahan dunia mana pun berhak berkunjung ke Pulau Bali. Tapi, tidak begitu jika sedang ada perayaan Hari Nyepi.
Begitu pun dalam orientasi seksual seseorang. Pria diperbolehkan memilih wanita yang disukai, begitu pun sebaliknya. Tapi hal itu dilakukan dengan proses hukum yang semestinya. Bukan seperti binatang yang boleh melakukan apa pun sekehendaknya.
Hukum dibuat bukan untuk membatasi hak asasi manusia. Tapi untuk menertibkan agar hak asasi bisa disalurkan secara baik dan benar. [Mh]