STUNTING, benarkah karena adanya ketidakadilan terhadap perempuan? Tulisan ini dikirim oleh Dian Sosianti Handayani, seorang pengurus AIMI Provinsi Nusa Tenggara Barat, Divisi SDM.
Pertanyaan ini muncul ketika saya menonton sebuah channel Youtube milik Bagus Muljadi. Dalam Chronicles episode 10 tersebut, Rocky Gerung, bintang tamu menyebutkan bahwa saat ini ada 20 persen kasus stunting di Indonesia.
Artinya, dari setiap lima kelahiran bayi, satu bayi terindikasi stunting. Mengapa stunting terjadi? Menurut Bung Rocky, tidaknya adanya Social Justice yang dimulai dari hulu, yaitu rahim perempuan.
“Rahim Perempuan adalah tempat keadilan diwujudkan, di mana perempuan langsung membagi sumber kehidupan, yaitu dari makanan dan nutrisi yang ia makan dengan bayi yang dikandungnya,” ujar Rocky Gerung.
Mendengar narasi tersebut, saya tergelitik, berarti selama ini perempuan banyak mendapat perlakuan tidak adil dalam menjalankan perannya sebagai kaum yang menjadi perantara peradaban manusia di dunia.
Salah satu contohnya adalah perempuan masih dibatasi asupan gizinya sejak ia masih belia. Mari kita telisik satu persatu.
Ketika beranjak remaja, remaja perempuan akan mengalami menstruasi. Dalam proses ini, tidak sedikit perempuan remaja mengalami anemia.
Pola makan yang instan dan kurang gizi dapat membawa dampak ketika kelak ia mengandung.
Selain itu, remaja perempuan cenderung melakukan diet ketat untuk memenuhi tuntutan masyarakat untuk memiliki bentuk tubuh yang ideal layaknya para artis dan influencer, padahal sangat berbahaya diet tanpa didampingi ahlinya.
Hal ini akan berdampak pada kondisi kesehatannya ketika ia memasuki fase berkeluarga. Padahal kunci awal mencegah stunting dimulai dari kualitas kesehatan kaum perempuannya.
baca juga: Rencanakan Masa Depan Anak dengan Cegah Stunting
Stunting dan Ketidakadilan terhadap Perempuan
Selanjutnya, di saat kondisi perempuan telah menikah kemudian mengandung. Pada momen ini, perempuan kembali mendapat perlakuan tidak adil dari lingkungan terdekatnya, seperti membatasi asupan makanan dengan berbagai mitos yang kurang mendasar.
Contoh, saya pernah menemui seorang ibu hamil di usia belia di desa ujung Selatan Pulau Lombok. Desa tersebut terkenal sebagai penghasil berbagai jenis seafood.
Tapi apa yang terjadi? Si ibu muda ini tidak dibolehkan mengonsumsi cumi-cumi karena dikhawatirkan anaknya akan sunsang. Ini baru mitos pertama.
Mitos selanjutnya setelah melahirkan. Ini saya alami sendiri. Ketika hari pertama tiba di rumah, sepulang dari proses melahirkan, menu yang disuguhkan ke saya adalah sepiring nasi dengan rebusan tempe dan potongan tomat sebagai lauknya.
Sedangkan anggota keluarga lain menu komplit ayam bakar dan kawan-kawannya. Sontak, suami saya protes dan menjelaskan bahwa ibu yang baru melahirkan butuh makanan yang banyak dan bergizi.
Ini baru sedikit contoh kasus, yang jika ditelusuri lebih dalam, masih banyak kasus lainnya dialami perempuan hamil dan menyusui yang menjadi sebab bayi minim nutrisi dan terlahir stunting.
Di NTB sendiri, kasus stunting cukup tinggi. Meskipun menurut beberapa data yang dirilis pemerintah dalam dua tahun terakhir, angka tersebut mulai mengerucut.
Salah satu kebijakan yang dilakukan pemerintah seperti menggalakkan aksi donasi sumber protein yaitu berupa telur kepada balita terindikasi stunting pun dilakoni.
Akan tetapi, sudahkan pemerintah memaksimalkan upaya dari hulu? Seperti, memberikan edukasi secara masif pada masyarakat, khususnya perempuan calon ibu tentang pentingnya mengkonsumsi makanan bergizi sejak dini, atau mengedukasi pentingnya ASI di 1000 hari pertama kehidupan, atau berkomitmen menyediakan layanan konseling gizi dan menyusui yang mudah diakses masyarakat, terutama perempuan hamil dan menyusui.
Mengapa ini penting? Karena stunting dapat dicegah sejak perencanaan kehamilan, proses hamil hingga proses menyusui eksklusif hingga dua tahun.
Akan tetapi, lagi-lagi, tidak semua perempuan memiliki pengetahuan dan mampu mendapat informasi tentang hal tersebut.
Banyak faktor penyebabnya, salah satunya minimnya layanan konseling yang disediakan di Pusat Kesehatan Masyarakat.
Tapi saat ini, masyarakat NTB tak perlu berkecil hati, karena ada sebuah komunitas yang bersedia memberikan informasi dan layanan konseling seputar ibu hamil, menyusui hingga lika liku pemberian MPASI pada balita.
Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) cabang NTB bulan ini menggelar Musyawah Daerah (Munas) perdananya setelah diresmikan berdiri lima tahun lalu.
Di Munas kali ini, yang dihadiri oleh perwakilan AIMI Pusat, selain menggelar Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Kepengurusan sebelumnya, AIMI NTB juga kembali melakukan pemilihan untuk kepengurusan lima tahun berikutnya.
Kehadiran AIMI NTB hingga saat ini sangat diterima masyarakat. Beberapa instansi pemerintah juga kerap bekerja sama dengan AIMI untuk kegiatan-kegiatan terkait edukasi ibu hamil dan menyusui.
Selain menyediakan ruang konseling tatap muka dan via online, AIMI juga sering terlibat dalam kegiatan charity berkolaborasi dengan berbagai lembaga saat bencana alam menyapa bumi gora beberapa tahun silam dan banyak lagi kegiatan seru lainnya.
Bagi yang ingin informasi yang lebih lengkap, silakan pantengin social media @AIMI_NTB atau Facebook AIMI NTB.
Siapapun Perempuan atau calon ibu dari dalam maupun luar NTB bisa bergabung, berdiskusi dan belajar bersama dengan para konselor yang ada di AIMI NTB.
Semoga dengan adanya ruang ini bisa menjadi tempat bertumbuhnya para perempuan jembatan peradaban dan tidak ada lagi generasi yang lahir kurang gizi atau mengalami stunting.
Mari kita wujudkan Indonesia emas dimulai dari kualitas emas para perempuannya. Salam ASI.[ind]