Chanelmuslim.com- Pasca gagalnya kudeta 15 Juli lalu, perkembangan politik Turki masih menjadi sorotan dunia Islam. Gagalnya kudeta itu menyisakan konflik terbuka antara Erdogan dan Muhammad Fathullah Gulen yang saat ini tinggal di Pennsylvania, Amerika.
Tidak banyak publik yang paham siapa Gulen dibanding ketokohan Erdogan. Sejak usia 14 tahun, ulama yang hafal Quran sejak belia ini, sudah terjun dalam dakwah. Gulen lebih fokus ke dunia pendidikan Islam, dan menjadikan dunia pendidikan sebagai sentra gerakannya.
Dalam perkembangannya, Gulen yang bergerak tanpa melalui partai politik ini, mendirikan semacam ormas Islam yang dikenal dengan Hizmet atau pelayanan terhadap umat.
Nyaris tak ada yang berbeda antara Erdogan dengan Gulen dalam semangat mengislamkan Turki. Bedanya, Gulen lebih ke arah sufi dan akhlak daripada Erdogan yang lebih fokus ke politik.
Di awal perlawanan terbuka antara gerakan Islam dengan kaum sekuler yang didukung militer, Erdogan dan Gulen bersatu dan saling melengkapi. Sinergi ini berhasil menumbangkan kekuatan sekuler yang didukung militer.
Ada sedikit perbedaan dalam cara pandang antara kedua tokoh ini. Erdogan lebih tegas penyikapannya terhadap Israel dan komunis Kurdi. Tapi Gulen, lebih menggunakan cara-cara normatif. Yaitu, selama masih ada cara damai, kenapa harus konflik. Termasuk dengan Israel dan Komunis Kurdi.
Tidak heran ketika Erdogan memberikan penyikapan keras ketika misi kemanusiaan Turki di Gaza Palestina disergap militer Israel dalam kasus Mavi Marmara, Gulen justru memaklumi tindakan Israel. Menurutnya, hal tersebut wajar karena itu wilayah Israel. Begitu pun dengan komunis Kurdi yang ingin dirangkul Gulen.
Ketiadaan musuh bersama yang pernah mereka lawan, boleh jadi, membuat perbedaan pandangan dua tokoh ini menjadi mengkristal. Terlebih munculnya provokator yaitu Amerika dan infrastruktur kaum sekuler yang masih berjaya di Turki yang terus-menerus melebarkan jurang perbedaan ini.
Sebagai contoh, teramat jarang media di Amerika memuji-muji tokoh Islam. Karena nyaris, media di sana berada dalam gurita kekuatan Yahudi.
Namun, pada tahun 2008, sebuah majalah top di Amerika, Foreign Policy, menobatkan Gulen sebagai tokoh terpopuler dari nominasi 100 tokoh dunia saat itu. Amerika pun menyediakan tempat tinggal kepada Gulen ketika konflik antara dirinya dan Erdogan kian terbuka.
Skenario Adu Domba Erdogan Gulen
Dilihat dari pemikiran Gulen yang dilatarbelakangi aliran sufi yang mengedepankan akhlak dan pendidikan, sulit memposisikan Gulen sebagai tersangka utama kudeta 15 Juli lalu. Terlebih, Gulen tidak bergerak dalam partai politik.
Lalu, siapa di balik konflik terbuka dua tokoh yang sangat berpengaruh terhadap masa depan Turki ini?
Kepemimpinan Erdogan sejak tahun 2002 lalu, sepertinya begitu menakutkan Amerika dan Eropa. Berkali-kali, Erdogan mengikuti aturan Eropa dan Amerika soal syarat bisa bergabung ke kawasan masyarakat Eropa, berkali-kali itu pula gagal.
Sepertinya, ada upaya sistematis agar syarat utama Turki bisa bergabung dengan Eropa adalah dengan tanpa Erdogan. Hal ini terlihat jelas bagaimana Eropa menggiring politik luar negeri Turki untuk lebih dekat berkoalisi dengan negara Timur Tengah, daripada ke Eropa.
Konflik Suriah adalah salah satunya. Eropa tiba-tiba bersepakat untuk menutup pintu-pintu masuknya pengungsi Suriah ke sana, dan mengembalikan ke Turki. Bahkan, ada upaya sistematis, kemunculan bahaya hantu ISIS bagi negara Eropa yang membuka datangnya pengungsi muslim tersebut. Jerman adalah salah satu negara yang menjadi korban manuver busuk ini.
Padahal secara alami, tempat yang paling cocok untuk menampung dan memanusiakan pengungsi Suriah di antaranya adalah ke Eropa. Karena saat ini, Turki dan Arab Saudi sudah menampung sekitar 2 juta warga di perbatasannya.
Skenario terakhir berupa ledakan bom yang hampir dua pekan sekali di Turki, memberikan citra Turki sebagai negara yang tidak stabil dan belum layak bergabung dengan Eropa. Kasus Kudeta berdarah lalu, kian menguatkan sinyalemen tersebut.
Boleh jadi, Amerika dan Eropa membutuhkan jembatan yang akan dilalui Turki dari kekuatan Islam kepada kekuatan sekuler yang masih bercokol di tokoh militer. Jembatan dari Erdogan ke kekuatan sekuler seperti Turki di masa lalu. Dan jembatan itu adalah Gulen.
Salah satu kelemahan Gulen yang tentu sangat dibaca Amerika adalah pemikiran yang infklusif. Walaupun Gulen dan pengikutnya mewajibkan hijab untuk muslimah, seperti halnya Erdogan, tapi Gulen membuka adanya forum lintas agama dan ideologi di Turki.
Kasus Mavi Marmara yang memunculkan ketegangan Turki dan Israel, memberikan nilai tersendiri dari Amerika terhadap sosok Gulen. Bahwa, Muhammad Fathullah Gulen bisa dibentuk menurut keinginan Amerika dan Eropa, yang untuk selanjutnya akan dikembalikan kepada kekuatan sekuler Turki. Wallahu a’lam. (mh/foto: civicegypt)