ChanelMuslim.com – Tidak ada yang bisa memperkirakan musibah. Kapan dan tempatnya terjadi. Tsunami Selat Sunda yang terjadi pada Sabtu pukul 21.30 (22/12/2018) juga seperti itu.
Banyak orang berpikir untuk mengisi liburan sekolah bersama keluarga di pantai. Begitu juga dengan Cindy, staff Universitas Bakrie. Ia dan keluarganya adalah saksi hidup ketika Tsunami Selat Sunda menerjang pesisir pantai Carita hingga Tanjung lesung, Banten.
Cindy mulai merasakan keanehan sebelum tsunami terjadi ketika melihat sunset arah Gunung Anak Krakatau.
Dari kejauhan ia melihat anak Gunung Krakatau itu menyemburkan abu vulkanik. Ditambah lagi penjaga pantai Carita sudah meminta pengunjung untuk menjauhi pantai.
"Pukul 6 sore pas saya mengabadikan video dan foto sunset, ombak sudah terlihat tinggi,"katanya saat dihubungi ChanelMuslim.com, Ahad (23/12/2018).
Akhirnya ia, suami bersama ketiga anaknya memutuskan untuk kembaki ke Lippo Carita.
Sekitar pukul 9 debur ombak mulai kedengaran keras. Setengah sepuluh lewat lima orang sudah teriak di lantai satu dan bunyi ombak semakin keras.
"Saya pikir hujan deras dan orang bubar karena acara dekat pantai. Namun, teriakan itu nggak berhenti-berhenti. Kemudian saya cek dari balkon lantai satu, air sudah sepaha manusia, dengan gelas, piring,"ujarnya.
Saat itu, ibu tiga anak ini sempat berpikir untuk ikut menyelamatkan diri. Namun, kondisi air yang deras menyurutkannya.
"Kalau saya dan keluarga langsung turun kami celaka. Akhirnya, kami putuskan untuk mengemas barang terlebih dahulu hingga air laut surut,"katanya.
Setelah dirasa air laut sudah surut, Cindy bersama suami dan anak-anaknya turun dari lantai tiga menuju parkiran mobil.
"Di parkiran, air masih semata kaki. Kami putuskan untuk keluar dari hotel mencari tempat yang aman,"katanya.
Saat keluar hotel, terlihat massa yang berlarian mencari tempat perlindungan. Cindy tadinya ingin lewat anyer, seorang supir bus yang ditemuinya menyarankan untuk tidak lewat sana karena jalur ditutup.
Salah seorang warga nyeletuk agar Cindy lewat perbukitan yang berada di depan Lippo Carita.
"Ada jalan kecil yang bisa dilewati satu mobil. Menurut warga lewat jalan bukit itu bisa tembus ke Pandeglang, Serang,"katanya.
Ia berterima kasih kepada masyarakat di sana. Kalau tidak diberitahu mungkin masih terjebak di hotel atau terkena tsunami.
"Apalagi pukul 10.15 terjadi gelombang kedua tsunami. Posisi mobil untungnya sudah berada di pertengahan jalan menuju bukit,"katanya.
Tadinya ia sempat mau balik ke Hotel, karena ada yang bilang sudah aman.
"Tapi mendengar ada gelombang kedua yang lebih dahsyat dan posisi tidak bisa kembali. Saya meneruskan perjalanan,"katanya.
Tsunami Pertama di Banten
Cindy sempat menanyakan warga yang ikut lari ke bukit dengan membawa buntelan.
Menurut mereka, tsunami seperti ini baru pertama terjadi.
"Apalagi sampai menghancurkan rumah penduduk. Biasanya hanya pasang biasa,"katanya.
Anehnya, ia sempat merasakan tidak ada angin saat air menerjang.
"Karena pastinya kalau air pasang ada angin atau hujan. Ini tidak ada,"ujarnya.
Sehingga tidak semua orang tahu terjadi tsunami.
"Baik pihak hotel maupun pemerintah juga tidak ada yang memberitahu. Saat turun dari hotel banyak yang nanya ada apa. Barulah dapat infomasi ada tsunami. Paniklah,"katanya.
Apalagi listrik dan sinyal telepon padam. Anak-anak banyak yang nangis.
"Untungnya anak kami tidak menangis. Kita juga nggak bisa akses bmkg dan tidak bisa update status,"tambahnya.
Ketika dapat sinyal, Cindy meminta bantuan kawan-kawan di Jakarta untuk membantu mengarahkan tempat yang aman.
"Ada kawan kami untuk tetap di bukit karena Carita tidak bisa dilewati,"katanya.
Istighfar Sepanjang Jalan
Gelapnya hutan tanpa pencahayaan serta tidak ada sinyal. Membuat Cindy dan keluarga beristighfar sepanjang jalan.
Ia takut sewaktu-waktu air bah menerjang jalanan sebelum ia sampai bukit.
"Ditambah lagi bahan bakar yang minim,"katanya.
Sekitar pukul setengah dua ia sampai bukit dan menemukan rumah penduduk yang ada cahaya.
"Alhamdulillah dalam perjalanan di hutan tidak ada bahaya. Kami konvoi meski tidak saling kenal,"katanya.
Warga Pantai Carita Penolong
Berhasilnya evakuasi masyarakat dekat pantai Carita karena warga di sana sigap ketika ada bencana.
Berhasilnya Cindy dan keluarga bisa sampai Pandeglang karena setiap sudut hutan ada warga yang memberitahu untuk lewat mana.
"Saat lewat jembatan misalnya. warga meminta tiap mobil untuk menjaga jarak sepuluh meter agar jalan tidak amblas karena hujan,"katanya.
Menurutnya kalau di desa ada warga yang Siskamling. Sehingga di setiap tempat yang ia lewati banyak masyarakat yang bantu.
Cindy baru sampai Jakarta sekitar pukul 03.21. Keputusannya meninggalkan Pantai Carita karena masih kaget dengan kejadian Tsunami Selat Sunda.
"Kami sudah nggak kepikiran untuk menginap lagi. Ingin cepat sampai rumah dan jauh dari laut,"katanya.
Harapan untuk Pemerintah dan BMKG
Cindy berharap dengan kejadian ini perlu ada pelatihan untuk warga melakukan penyelamatan diri.
"Karena banyak masyarakat bingung dan panik bagaimana menyelamatkan diri,"katanya.
Apalagi ada isu bahwa bukan tsunami. Sehingga banyak yang merasa aman.
"Faktanya itu tsunami. Dan saat saya memposting banyak yang tidak percaya,"pungkasnya.
Untuk diketahui, data sementara yang berhasil dihimpun Posko BNPB hingga Ahad (23/12) pukul 16.00 WIB tercatat 222 orang meninggal dunia, 843 orang luka-luka dan 28 orang hilang. (Ilham)