ChanelMuslim.com- Di sebuah pasar tradisional, tampak seorang ibu berjalan agak tergesa-gesa. Wajahnya menyiratkan raut kekesalan. Ia berpindah dari satu kios ke kios lain.
Hingga di sebuah lorong kios, ia menghentikan langkahnya. “Huh, mahal-mahal amat,” ucapnya membatin. Ia pun meninggalkan pasar dengan tanpa membawa belanjaan sama sekali.
Pemandangan kekesalan sekaligus keputusasaan ibu itu bisa dikatakan dua dari empat pengunjung pasar, di saat bulan Ramadan ini. Begitu pun di Ramadan yang lalu. Dan mungkin pula di Ramadan yang akan datang.
Ramadan yang agung nan penuh keberkahan, tiba-tiba menjadi suasana yang paling menakutkan. Semua harga, terutama kebutuhan sehari-hari rumah tangga, melonjak tak kenal etika. Tak peduli terhadap siapa, yang berduit apalagi yang tidak.
Kenapa? Kenapa peristiwa teror ini terus terjadi di saat bulan Ramadan. Teror yang begitu menakutkan untuk para ibu dan keluarga.
Menjawab ini, sebagian orang berpendapat, “Ya salah sendiri. Pasar itu mengikuti kita. Kalau permintaan naik, ya harga pun akan melonjak.Kalau mau harga gak naik, ya jangan belanja banyak-banyak. Sekedarnya saja.”
Sepintas, pendapat itu memang masuk akal. Dan, memang begitu hukum pasar yang berlaku. Namun, apa memang selurus itukah hukum pasar itu?
Sepertinya tidak selurus itu. Banyak pihak yang boleh jadi memang sudah menjadi langganan mengail proyek di balik semarak bulan Ramadan.
Dan, bukankah Ramadan rutinitas tahunan yang dampak akibatnya sudah bisa diprediksi sedemikian akurat. Terutama dalam soal suplai dan demand ini.
Orang yang lain pun mengatakan, “Ya tidak sesederhana itu. Ramadan berbeda dengan Natal dan tahun baru Masehi. Dua hari raya terakhir itu sejalan dengan persoalan musim tanam dan panen.
“Sementara Ramadan, tidak mengikuti pola rutinitas dari musim tanam dan panen. Ramadan berpatokan pada perjalanan bulan, bukan matahari. Ramadan bisa berada di bulan Desember pada saat panen, tapi bisa juga berada di bulan-bulan lain pada saat paceklik dan belum musim panen.”
Benarkah pendapat itu? Lagi-lagi, sepintas ada benarnya. Tapi, di belahan bumi lain, teknologi pertanian sudah mulai tidak lagi bergantung pada iklim dan cuaca. Tidak lagi dipengaruhi oleh perjalanan matahari. Tanam dan panen bisa direkayasa sesuai kebutuhan.
Buktinya, di saat negeri ini kekurangan beras, di negeri lain berlimpah. Dan harga di luar sana jauh lebih murah dari harga pasar di dalam negeri sini.
Dari sini, persoalan harga, terlebih di momen-momen tertentu seperti Ramadan; tentunya harus dikelola oleh pihak ketiga selain penjual dan pembeli. Yaitu, pemerintah.
Pihak inilah yang mestinya tak perlu lagi panik, apalagi acuh dengan jeritan rakyat terutama ibu-ibu yang terhimpit dengan lonjakan harga di pasar.
Jangan pernah mengira kalau penjual merasa diuntungkan dengan keadaan ini. Mereka pun mengalami nasib yang sama dengan pembeli. Karena untuk kelas mereka, sebelum menjadi penjual, mereka terlebih dahulu sebagai pembeli. Modal melonjak, keuntungan segitu-gitu aja.
Dari fenomena ini, ada pihak lain yang begitu super power dalam mempengaruhi harga. Bukan soal hukum murni pasar di suplai and demand. Tapi, sudah seperti mainan rutin pihak ini untuk bisa membentuk suplai dan demand siluman.
Inilah fenomena rutin teror di bulan Ramadan. Bukan bom yang meledak. Tapi harga yang meledak.Korbannya pun bukan satu, sepuluh, atau ratusan orang. Melainkan, jutaan ibu-ibu dan keluarga mengalami stres berat. Bukan nyawa yang melayang, tapi harapan yang kian hilang.
Jangan heran jika sang ibu yang meninggalkan pasar tanpa belajaan itu akan bergumam, “Sebenarnya, ini negara ada pemimpinnya apa nggak sih!” (mh)