ChanelMuslim.com- Depok (28/6) – Pemilihan kepala daerah telah berlangsung di 171 wilayah se-Indonesia, yakni di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Pemilihan gubernur dan wakil gubernur di 17 provinsi menyita perhatian publik karena banyak kejutan terjadi. Salah satu yang memancing kontroversi adalah pemilihan gubernur dan wakil gubernur Provinsi Jawa Barat yang berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) Syaiful Mujani Research & Consulting dimenangkan pasangan Ridwan Kamil dan UU Ruzhanul Ulum (32,26 persen), diikuti oleh Sudrajat-Ahmad Syaikhu (29,58), Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi (25,38) dan Tubagus Hasanuddin-Anton Charliyan (12,77). Tetapi tim pemenangan Asyik (Ajat-Syaikhu) masih menunggu hasil hitung lengkap (real count) dan hitung manual resmi dari KPUD Jawa Barat, karena selisih suara yang tipis, sehingga bisa jadi hasil RC berbeda dengan QC.
Mesin politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengejutkan semua pihak karena bersama Partai Gerindra, PAN, PBB dan Partai Idaman telah mendongkrak peroleh suara Asyik dari perkiraan elektabilitas di bawah 8 persen menjadi nyaris 30 persen, berdasarkan hitung cepat. Hanya dalam waktu dua bulan popularitas dan elektabilitas pasangan Asyik meningkat empat kali lipat. Hal serupa terjadi di Provinsi Jawa Tengah, perolehan suara pasangan Sudirman Said dan Ida Fauziyah yang didukung Gerindra, PKB dan PKS meroket jadi 41,41 persen, meskipun kalah dibandingkan pasangan Ganjar Pranowo-Taj Yasin yang berdasatkan hitung cepat memperoleh 58,59 persen.
Mesin politik PKS memberikan andil besar bagi kemenangan pasangan di provinsi lain: Sumatera Utara (Edi Rakhmayadi-Musa Rajeksya, 60,51 persen), Riau (Syamsuar-Edy Natar, 38,17 persen), Nusa Tenggara Barat (Zulkieflimansyah-Siti Rohmi Djalilah, 30,68 persen), Sulawesi Selatan (Nurdin Abdullah-Sudirman Sulaiman, 42,92 persen), Kalimantan Barat (Sutarmiji-Ria Nosan, 57,25 persen), dan Kalimantan Timur (Isran Noor-Hadi Mulyadi, 31,71 persen).
Apa rahasia kekuatan mesin politik PKS? Banyak peneliti yang mencermati kemunculan PKS pasca reformasi 1998, terutama saat perolehan suaranya dalam pemilihan umum 2004 melonjak lima kali lipat dari 1,4 persen (tahun 1999) menjadi 7,3 persen (2004). Berikut ini percakapan Sapto Waluyo (Direktur Center for Indonesian Reform, CIR) dengan Asistant Professor Dr. Ioana Emy Matesan dari Departemen Ilmu Pemerintahan, Universitas Wesleyan, Amerika Serikat. Emy Matesan sedang melakukan riset tentang PKS sebagai partai politik dan gerakan dakwah. Pandangannya menarik tentang kerjasama PKS dengan partai nasionalis/sekuler dan kemungkinan PKS meraih dukungan publik yang lebih luas dari masyarakat Indonesia yang majemuk.
Sapto: Bagaimana Anda melihat PKS sebagai partai politik berbasis Islam bekerjasama dengan partai lain, terutama partai nasionalis/sekuler?
Emy: Saya pikir PKS sama saja dengan partai lain dalam lingkungan politik Indonesia: ia punya nilai sendiri, tetapi juga bersikap strategik dalam meraih target politik. Basis kader dan kontituen PKS berkomitmen kuat pada nilai dan visi keagamaannya, namun seperti partai lain, kepemimpinan politiknya bersikap pragmatik. Ini artinya, pada saat sama PKS membangun aliansi politik dengan partai nasionalis/sekuler, dan kita pasti melihat itu pada tingkat daerah. Sebagian sebabnya, tentu saja karena sistem politik di Indonesia, yang mendorong semua partai untuk membentuk aliansi beragam demi mencapai kekuasaan.
Sapto: Apa peran partai relijius dalam negara demokratis yang majemuk seperti Indonesia, berkaitan dengan proses demokratisasi dan pemeliharaan kebebasan sipil?
Emy: Pada satu sisi, sebagai sistem politik yang inklusif, penting bagi Negara demokrasi untuk memberi ruang bagi konstituen relijius bersuara dan berperan dalam sistem, terutama ketika ada kelompok yang menolak kerangka politik yang ada. (Pemikiran saya tentang pentingnya inklusi, dapat dilihat pada artikel yang ditulis bersama Alex Arifianto). Pada sisi lain, bagaimanapun kita melihat sepanjang sejarah dan pada semua wilayah di dunia, pada suatu waktu ketegangan bisa muncul antara nilai relijius dengan hak dan kebebasan sipil. Bagaimana ketegangan itu dinegosiasikan tergantung pada konteksnya, dan harus diserahkan kepada masyarakat di masing-masing negara.
[gambar1]
Sapto Waluyo
Sapto: Bagaimana pimpinan PKS sebagai partai konservatif/relijius meraih dukungan yang lebih luas dari masyarakat majemuk? Dapatkah kita membandingkan PKS di Indonesia dengan Partai Kristen Demokrat di Eropa?
Emy: Pertanyaan menarik. Secara aktual saya pikir ada dua model yang perlu dicermati: niche parties(partai khas/terbatas) dan partai biasa (mainstream parties) seperti Kristen demokrat. Saya bisa katakan bahwa PKS sejauh ini cukup sukses sebagai partai khas, mengajak sebagian besar konstituen sepanjang pemilihan umum kepada pemilih yang lebih relijius konservatif, yang juga membentuk basis kadernya. Partai khas memelihara dukungan dengan cara tetap konsisten kepada isu spesifik yang diwakilinya, terutama jika isu tersebut nyata dan penting bagi segmen masyarakat tertentu, dan jika partai lain tidak menyuarakan isu tersebut. Di Indonesia, bagaimanapun partai nasionalis/sekuler juga mengadopsi retorika keagamaan pada waktu tertentu (terutama pada tingkat lokal), yang memberi tekanan pada partai khas berbasis agama. Maka alternatif lain adalah mencoba mentransformasi ke partai pada umumnya dengan mengajak pemilih umum. Untuk itu, PKS harus melakukan ajakan/pendekatan kepada pemilih kebanyakan, dan sekaligus membedakan dirinya dari partai lain pada umumnya yang juga mendekati pemilih umum. Saya tak pasti, apakah itu bisa dilakukan, dan tetap menjaga gerakan kultural yang sejalan sebagai dukungan utama/tulang punggu partai. Tetapi sudah pasti, apa yang diinginkan dan dipercayai pemilih umum berbeda antara satu negara dengan negara lain, dan mungkin berubah dari waktu ke waktu. Partai Kristen Demokrat di Eropa harus mengurangi nuansa keagamaan dan menjadi lebih ke tengah/sentris. Hal itu mungkin tidak mesti berlaku dalam kasus Indonesia. (Mh)