oleh: Wulan Saroso
ChanelMuslim.com–Dua belas perempuan usia SMA melakukan perundungan terhadap satu anak perempuan usia SMP, di Pontianak. Perkaranya sepele. Menurut media informasi, awalnya para pelaku ingin bicara dengan kakak sepupu korban yang merupakan mantan pacar salah satu pelaku. Namun karena sempat terlibat percekcokan di media sosial, korban juga dijemput dan diajak pergi oleh mereka lalu terjadilah perundungan terhadap korban.
Bagaimana kronologisnya, bisa dibaca di media informasi. Namun ketika membaca berita tersebut, saya kemudian bingung mau menyebutnya apa. Mau menulis kata tidak sopan, rasanya tidak pantas. Tapi rasanya tidak ada pula kata-kata yang pantas untuk para pelaku perundungan terhadap korban selain bajingan. Duh, maaf sampai harus mengungkapkan kata keji seperti itu. Untuk menggambarkan rasa marah dan jijik terhadap perilaku biadab dua belas perempuan yang melakukan perundungan itu. Bila berhadapan dengan orang tua mereka, bisa jadi saya pun akan memaki-maki para orang tua itu. Tuntunan apa yang diberikan kepada anak mereka sampai bisa berpikir dan berkelakukan biadab. Dua belas pelaku berarti ada dua belas pasang orang tua!!
Tidak ada perilaku keji tanpa sebab. Dan tidak ada orang mampu melakukan perbuatan keji tanpa dorongan emosi negatif yang besar. Dan dorongan emosi negatif itu pun tidak tercipta sesaat. Seseorang tidak akan mampu melakukan perbuatan jahat tanpa stimulan yang terus menerus sehingga terbentuk sebuah pernyataan di kepalanya bahwa perbuatan jahat tersebut adalah hal yang wajar.
Saya termasuk di antara yang tidak sepakat menyebut kata anak kepada orang yang berusia di atas 15 tahun. Secara perkembangan biologis dan psikologis, mereka yang berusia di atas 15 tahun sudah mampu untuk berperilaku dewasa dan bertanggung jawab terhadap semua yang dilakukan.
Kasus ini di antara kenyataan sangat pahit yang harus kita terima bahwa di era teknologi informasi ini, masih banyak orang tua yang gagap dalam berinteraksi dan mendidik anaknya.
1. Pacaran
Pacaran pada kenyataannya bukan perkara sepele. Bukan sekadar suka-sukaan antara lelaki dan perempuan. Bukan sekadar kisah jadian setelah sekian lama naksir lalu nembak. Bukan sekadar punya status bukan jomblo. Kasus demi kasus keji tak sedikit bermula dari pacaran yang kemudian memicu keributan antar remaja, perundungan, pergaulan bebas, seks bebas dan aborsi.
Dan di antaranya kasus di atas. Sinetron dan film layar lebar menayangkan kisah pacaran sebagai bagian tren hidup anak muda. Enggak punya pacar, enggak keren. Lihat saja. Tayangan yang disajikan berkutat tentang kisah asmara remaja, persaingan perebutan pacar hingga perselingkuhan. Sementara di sisi lain, anak muda di usia tengah bergolaknya pertumbuhan hormon pubertas, tidak mendapatkan pendidikan yang tepat dalam mengelola emosi mereka. Gairah pubertas pun tak terkontrol. Mereka yang tengah dalam pencarian jati diri terjebak dalam rimba kesesatan informasi. Jadilah mereka manusia kerdil yang sedang belajar dewasa tanpa arah tujuan. Tren yang bobrok pun menjadi acuan.
Banyak orang tua yang tidak dengan tegas mengatakan kepada anaknya untuk tidak pacaran. Tentu saja ketegasan yang arif sesuai bagaimana bersikap dengan manusia di usia bergejolaknya hormon pubertas. Bukan sekadar dogma agama, bahkan logika bahwa pacaran itu adalah perilaku yang tidak logis bisa dijelaskan secara akal sehat. Bahkan guru di sekolah pun bisa terlibat dalam pendidikan moral tidak pacaran. Hanya saja, masih banyak orang dewasa yang tidak siap duduk tenang untuk berbincang dengan para remaja sehingga yang timbul hanya sekadar bentuk larangan tanpa pendekatan dan edukasi yang tepat.
Pekerjaan rumah buat kita semua.
(Tentang pacaran, saya bahas di tulisan tersendiri)
2. Media sosial
Ajang eksis dan narsis buat semua masyarakat dunia. Saat ini, semua orang bisa menjadi selebriti melalui akun media sosialnya. Dulu, yang bisa tampil di media informasi hanyalah para model dan tokoh. Namun sekarang bahkan seseorang di tengah pulau terpencil pun mampu eksis asal ada kuota. Banjir bandang informasi melalui media sosial nyaris tak terbendung. Semua sajian informasi bisa diakses dengan mudah. Bahkan media bisa menyajikan tayangan manusia dengan tubuh tanpa sehelai benang hingga yang tertutup rapat.
Namun media tetaplah alat. Yang menggerakkan alat adalah manusia. Pada kasus di atas, si pelaku masih bisa eksis di media sosial mereka bahkan dengan boomerang di insta. Sebenarnya mengerikan. Ketika pelaku kekejian lupa akan perilakunya, ini bukan perkara sederhana. Ada split kejiwaan di sana. Namun bukan wewenang saya menyatakan hal tersebut. Hanya saja, ajang eksis di media sosial seringkali memberi informasi tidak tepat dan layak untuk dikonsumsi masyarakat banyak. Yang paling rentan adalah anak muda yang berada di masa tumbuh kembang dan tengah mencari dudukan di mana jati dirinya berada namun harus sebelum sempat duduk pada jati diri yang benar, ia menerima gempuran informasi buruk, murahan dan sangat jauh dari mendidik. Sementara para orang dewasa pun lengah dalam membimbing mereka. Alhasil, jadilah media sosial jadi acuan tumbuh kembang tanpa arahan yang benar. Akan jadi apa? Kasus di atas contoh yang menyedihkan. Miris.
3. Di mana orang dewasa?
Orang tua, guru, paman, bibi, kakek, nenek… Di mana Anda? Anak muda kita tengah tercerabut dari tempat di mana mereka seharusnya mendapatkan pengayoman, pendidikan dan bimbingan. Orang tua sibuk dengan dunia mereka. Ternyata mereka yang digital imigran pun sedang gagap diterjang ombak tsunami media sosial. Sibuk dengan diri mereka lalu menganggap anak muda mereka sudah mampu tumbuh kembang dengan sendirinya. Yang miris adalah pada kenyataannya para orang tua itu pun yang tanpa sadar mengajarkan keburukan.
Para guru pun sangat disibukkan dengan administrasi kurikulum sekolah. Tak lagi punya kesempatan berbincang dengan siswanya. Mendengarkan celotehan mereka. Ide, gagasan, luapan emosi suka dan duka, tanya yang belum bertemu jawab. Mereka sering tak tahu harus ke mana mengungkapkannya. Sementara saat ini, sebagian besar waktu anak muda ada di sekolah. Ini pula yang menjadi alasan orang tua yang beranggapan bahwa pendidikan anak mereka sudah ditangani oleh sekolah.
Bergesernya arti keluarga pun menyebabkan anak muda hilang kendali. Padahal paman, bibi, kakek, nenek adalah juga orang tua tempat mendapatkan didikan dan hikmah. Peran mereka sudah terabaikan saat ini.
Bahwa melakukan kekejian menjadi hal biasa di kalangan anak muda adalah pekerjaan rumah besar buat pendidikan kita. Bahwa pelaku perundungan pada kasus ini tidak menyadari benar kesalahannya, perlu menjadi perhatian besar buat kita. Ada berapa banyak anak muda kita yang tumbuh kembang dalam situasi seperti itu? Berada dalam lipatan kehidupan masyarakat kita yang kemudian perilakunya menimbulkan keterkejutan. Tentunya orang dewasa sangat perlu introspeksi diri, apakah keburukan cara mendidik, membimbing dan mengayomi bisa menghasilkan psikopat-psikopat muda? Ya Allah… Lindungi kami…
Anak muda kita, mereka suatu hari yang akan mengendalikan bangsa ini. Orang dewasa, mawas dirilah. Anda teladan bagi anak muda. Moralitas dan kearifan Anda dibutuhkan mereka. [ind]
Sumber:
http://m.tribunnews.com/amp/section/2019/04/09/kasus-siswi-smp-pontianak-dikeroyok-12-siswi-sma-kronologi-hingga-korban-sempat-diancam-pelaku?page=3
The Hare Psychopathy Checklist with 20 Most Common Traits of a Psychopath
http://www.minddisorders.com/Flu-Inv/Hare-Psychopathy-Checklist.html#ixzz5kdAaupiJ