Chanelmuslim.com – Maulid di kalangan sunni dilakukan oleh orang-orang shaleh. Bentuk perayaan yang dilakukan beragam. Maulid yang dilakukan di kalangan sunni berbeda dengan yang dilakukan oleh Dinasti Fatimiyah.
Maulid Telah Lebih Dulu di Lakukan di Kalangan Sunni
Kaptein (1993: 36), mengutip Mir’at al-Zaman karya Sibt ibn al-Jauzi (w. 1257), menyebutkan bahwa Syaikh Umar al-Malla’ juga menulis sebuah kitab sirah Nabi. Marion Holmes Katz (2007: 2) menyebutkan bahwa kitab sirah yang ditulis Syaikh Umar ini berjudul Wasilat al-Muta’abbidin fi Sirat Sayyid al-Mursalin. Hanya sebagian saja dari kitab itu yang masih ada dalam bentuk manuskrip di Oriental Public Library, Bankipore, India. Pada manuskrip itu terdapat catatan bahwa kitab itu dibacakan dalam beberapa kali kunjungan, terakhir pada tanggal 6 Rabiul Awwal 569 (1174). Ini adalah tahun paling awal yang kita dapati sejauh ini terkait dengan perayaan maulid di dunia Sunni yang tampaknya menjadi cikal-bakal perayaan maulid yang ada sekarang.
Bagaimanapun, Kaptein berpendapat bahwa perayaan maulid sudah berkembang di dunia Sunni pada masa pemerintahan Nuruddin, dan Syaikh Umar al-Malla’ bukan orang yang pertama kali memulainya sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Syamah di dalam al-Ba’its. Kaptein (1193: 31-3) menunjuk beberapa teks dalam Kitab al-Rawdatayn karya Abu Syamah yang menyebutkan bahwa Nuruddin dan orang-orang di sekitarnya juga telah melakukan perayaan maulid pada tahun-tahun sebelumnya, antara lain pada tahun 1153. Setidaknya ada tiga teks di dalam kitab itu, yaitu pada jilid 1 (1997: 279, 285) dan jilid 2 (1997: 315), yang menyebutkan tentang malam maulid (laylat al-milad), tanpa ada penyebutan kata Nabi (shallallahu alaihi wasallam).
Walaupun tak ada penyebutan kata Nabi, menurut Kaptein kata itu pasti menunjuk pada maulid Nabi, karena pada sepanjang pemerintahannya Nuruddin berusaha membangun nilai-nilai Islam yang kuat di tengah masyarakatnya, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi (shallallahu alaihi wasallam).
Untuk menguatkan argumentasinya, Kaptein juga mengutip dari buku Al-A’laq al-Khatira fi Dhikr Umara’ al-Sham wa-l-Jazira karya Izzuddin Ibn Shaddad (w. 1285). Di sana disebutkan bahwa pada tahun 1150, Nuruddin mendirikan Madrasah al-Hallawiyah di Aleppo. Bersamaan dengan itu, ia menetapkan pemberian uang, makanan, atau pakaian dalam jumlah tertentu kepada para guru pada waktu-waktu yang ditentukan, antara lain pada bulan Ramadhan, malam nisfu sya’ban, dan juga pada masa maulid (tertulis dalam teks dalam bentuk jamak, mawalid). Pendapat Kaptein ini menguatkan pandangannya bahwa maulid di dunia Sunni mendapat pengaruh dari maulid Dinasti Fatimiyah, karena pada tahun 1150-an itu Dinasti Fatimiyah masih eksis dan masih merayakan maulid. Kecil kemungkinan Nuruddin dan para pemimpin Sunni selainnnya tidak mengetahui tentang hal itu.
Namun kita menemukan kelemahan pada argumen ini. Maulid yang disebutkan berkenaan dengan Nuruddin memiliki karakteristik yang berbeda bukan hanya dengan maulid Fatimiyah, tetapi juga dengan maulid yang diadakan oleh Syaikh Umar al-Malla’ dan juga Muzaffaruddin. Momen malam maulid hanya disebutkan sekilas di dalam teks-teks pada Kitab al-Rawdatayn yang bertepatan dengan dibacakannya syair-syair yang dihadiahkan kepada Nuruddin. Syair-syair itu pada satu kesempatan dibuat oleh Ibn Munir dan pada kesempatan yang lain dibuat dan dibacakan oleh Usamah ibn Munqidz. Teks-teks itu tidak memberikan gambaran yang jelas tentang berlangsungnya sebuah perayaan maulid. Syair-syair yang dibacakan juga bukan merupakan pujian kepada Nabi (shallallahu alaihi wasallam), tetapi lebih berupa pujian kepada Nuruddin. Jika syair-syair itu dibacakan dalam rangka merayakan maulid Nabi, mengapa Nuruddin yang menjadi obyek utama pujiannya?
Hal ini berbeda dengan maulid yang diadakan oleh Syaikh Umar yang di sana para penyair bersenandung memuji Nabi dan ketika itu juga dibacakan kitab sirah yang ditulis oleh Syaikh Umar. Begitu pula maulid yang diadakan oleh Muzaffaruddin dimana kita menemukan kisah Ibn Dihyah yang menuliskan sebuah kitab berkenaan dengan kelahiran Nabi pada kesempatan tersebut. Tambah lagi momen-momen pemberian syair untuk Nuruddin itu disebut dengan kata ‘malam maulid’, berbeda dengan pelaksanaan maulid Fatimiyah yang tampaknya diadakan pada siang hari, begitu pula dengan maulid yang diadakan oleh Syaikh Umar.
Pembagian hadiah yang diberikan untuk para guru di Madrasah Hallawiyah yang antara lain bertepatan dengan waktu maulid juga tidak serta merta mengisyaratkan adanya sebuah bentuk perayaan maulid. Karena pembagian hadiah bukan hanya diberikan pada waktu-waktu keagamaan yang mengandung aktivitas ritual, tetapi juga waktu-waktu lainnya seperti musim dingin dan musim semi.
Kalau begitu apa makna malam maulid ini dan apa kaitannya dengan perayaan maulid? Kemungkinan malam maulid yang berkaitan dengan Nuruddin ini belum berlangsung dalam bentuk perayaan khusus. Mungkin pada masa itu ‘malam maulid’ sudah dikenal luas dan ditandai oleh masyarakat Muslim Sunni sebagai momen yang perlu dikenang.
Pada kesempatan itu amal soleh, seperti membagikan hadiah kepada para guru madrasah, ditingkatkan sebagai ungkapan syukur atas kelahiran Nabi (shallallahu alaihi wasallam). Kita mungkin bisa menyebutnya sebagai sebuah ‘peringatan’ (remembrance), sebuah proto-maulid, bukan sebuah perayaan atau festival seperti yang berkembang kemudian. Argumentasi ini lebih sejalan dengan penjelasan Abu Syamah bahwa yang melaksanakan ‘perayaan’ maulid pertama kali adalah Syaikh Umar al-Malla’, yang merupakan sebuah pengembangan baru dari sekedar sebuah ‘peringatan’.
Adanya ‘peringatan’ maulid ini tampaknya lebih berkaitan dengan maulid di Makkah seperti yang diceritakan oleh Ibn Jubair dibandingkan dengan maulid Fatimiyah. Nuruddin berusaha menguatkan ajaran Ahlu Sunnah dalam pemerintahannya dan membatasi praktek-praktek Syiah yang juga terdapat pada masyarakat yang ia pimpin. Jika ia mengambil peringatan maulid dari Fatimiyah, tentu hal itu akan diketahui oleh tokoh-tokoh Muslim pada masa itu, baik Syiah maupun Sunni. Kalangan Syiah mungkin akan mengungkapnya dan kalangan Sunni perlu mempertahankannya. Tapi kita tidak menemukan adanya polemik semacam ini pada masa itu.
Saat membicarakan tentang maulid Fatimiyah, Kaptein (1993: 28-30) sendiri menolak kemungkinan maulid tersebut menerima pengaruh dari perayaan milad Yesus (natal) di kalangan orang-orang Koptik di Mesir. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik pada keduanya: maulid Fatimiyah tidak semenonjol dan sepopuler natal (Coptic Christmas) dan ia tidak diadakan pada malam hari seperti natal.
Namun, ketika membahas maulid di dunia Sunni, Kaptein dengan cepat menyatakan adanya kesinambungan, tanpa mempertimbangkan adanya perbedaan karakteristik keduanya. Karena itu lebih aman untuk menerima kesimpulan di dalam Encyclopaedia of Islam (1991: 895) yang menyebutkan bahwa “the memory of these Fatimid mawalid seems to have almost completely disappeared before the festivals in which Muslim authors unanimously find the origin of the mawlid.”
Dengan demikian dapat dikatakan perayaan maulid di dunia Sunni baru muncul pada awal abad ke-12, yaitu pada masa pemerintahan Nuruddin Mahmud Zanki (w. 1174). Perayaan maulid ini pada awalnya terbatas di kota Mosul, tetapi perlahan-lahan menyebar dan tampil secara besar-besaran di Irbil beberapa waktu kemudian. Perayaan maulid yang berlaku di Mosul dan irbil ini kemudian menyebar dari sebagian wilayah Irak ke Mesir dan kemudian ke seluruh dunia Islam seperti yang kita ketahui sekarang ini.
Abu Syamah sendiri menceritakan tentang perayaan maulid di dalam bukunya yang membahas tentang bid’ah, yaitu Kitab al-Ba’its. Ia menyebut perayaan maulid sebagai sebuah bid’ah yang berlaku di jamannya. Namun, dalam bukunya itu ia membagi bid’ah kepada bid’ah yang baik dan yang buruk sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam Syafi’i. Abu Syamah memasukkan maulid ke dalam kumpulan bid’ah yang baik, sebagaimana pembuatan mimbar di masjid serta pembangunan madrasah.
Lebih dari satu setengah abad sejak maulid yang diadakan di Irbil, Ibn Kathir (w. 1373) menulis tentang hal itu di dalam kitabnya Al-Bidayah wa-l-Nihayah jilid 17 (1998: 204-6). Ia menyebutkannya saat menceritakan tentang wafatnya pemimpin Irbil, Muzaffaruddin Kukburi. Sebagian besar penjelasannya sama dengan yang ada pada tulisan Ibn Khallikan, tetapi di dalamnya juga ada beberapa informasi lainnya.
Ia menyebutkan keutamaan-keutamaan Muzaffaruddin, jihadnya yang menonjol, serta sedekahnya yang sangat banyak, walaupun baju yang biasa dikenakannya berbahan kasar dan harganya tak sampai 5 dirham. Dalam tulisannya itu Ibn Katsir sama sekali tidak menyebutkan maulid yang diadakan itu bersumber dari Fatimiyah dan ia tidak pula mencelanya atau menyebutnya sebagai perbuatan bid’ah, walaupun salah satu gurunya, Ibn Taimiyah (w. 1328), mengkritik maulid sebagai perbuatan bid’ah. Ibn Katsir bahkan memuji Muzaffaruddin dan mendoakannya dengan sebutan rahimahullah Ta’ala. Ibn Katsir juga menyebutkan tentang perayaan maulid oleh Syaikh Umar al-Malla’ dalam kitabBidayah jilid 16 (1998: 446-7) dan menyebut tokoh zahid itu dengan sebutan al-Shaikh al-Shalih al-Abid.
Terlepas dari itu semua, perayaan maulid merupakan sesuatu yang tidak ada pada jaman Nabi, sahabat, ataupun para imam madzhab. Ia baru muncul belakangan. Maulid bukanlah sesuatu yang mesti dilaksanakan setiap tahun, apalagi setiap bulan atau setiap minggu, dan ia bukan pula ukuran kecintaan seseorang kepada Nabi (shallallahu alaihi wasallam). Mengerjakannya tidak membuat pelakunya lebih mulia dan lebih terbukti cintanya pada Nabi dibandingkan mereka yang tidak mengerjakannya. Jika ia merupakan ukuran cinta pada Nabi dan menjadikan seseorang lebih mulia, maka bagaimana kita hendak menilai kecintaan dan kemuliaan generasi terdahulu sementara mereka tidak pernah mengadakan maulid?
Sebaliknya, yang tidak menyetujui maulid juga perlu lebih bijak dan tidak terlalu mudah membid’ahkan atau menyesatkan mereka yang menyelenggarakan maulid sebagai ungkapan rasa syukur atas kelahiran sang Nabi. Karena yang memulai perayaan itu adalah orang-orang soleh serta pejuang yang telah diakui, dan mereka tidak dikecam oleh para ulama di jamannya maupun setelahnya. Wallahu a’lam.
Sumber: http://inpasonline.com/new/mencari-asal-usul-maulid-nabi/