Chanelmuslim.com – Saat umat kristiani merayakan hari natal yang dipercaya sebagai hari kelahiran Yesus Kristus, umat Islam pun menghadapi maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘alahi wa Sallam. Perhitungan kelahiran Nabi Muhammad yang berdasarkan kalender hijriah membuatnya tidak selalu sama setiap tahun dengan perhitungan kalender masehi.
Masih terjadi pro dan kontra apakah umat Islam harus merayakan maulid Nabi atau tidak. Sebagian mengatakan perayaan maulid Nabi adalah bid’ah (hal yang mengada-ada dan cenderung haram). Namun, beberapa ulama tidak melarang perayaan maulid yang bersifat syiar untuk mengajak kebaikan.
Jika ingin menelusuri asal usul maulid Nabi, dapat disimak tulisan dari Alwi Alatas, seorang kandidat doctor bidang sejarah di IIUM Malaysia berikut ini.
Secara bahasa maulid Nabi bermakna waktu kelahiran atau tempat kelahiran, Nabi (shallallahu alaihi wasallam). Secara istilah, maulid Nabi biasanya dimaknai sebagai perayaan yang berkaitan dengan waktu kelahiran Nabi Muhammad setiap tanggal 12 Rabiul Awwal. Perayaan maulid telah menjadi bagian dari kehidupan keagamaan masyarakat Muslim di dunia sekarang ini. Bahkan tanggal 12 Rabiul Awwal merupakan hari libur di banyak negeri Muslim. Kapankah sebenarnya perayaan maulid pertama kali muncul dalam sejarah Islam?
Maulid Pertama Bukan Pada Masa Shallahuddin al-Ayyubi
Ada yang mengatakan bahwa peringatan maulid Nabi muncul pertama kali pada zaman Shalahuddin al-Ayyubi (wafat 1193). Shalahuddin ketika itu mengadakan kompetisi atau anjuran untuk melaksanakan perayaan maulid demi membangkitkan semangat jihad kaum Muslimin pada masa itu dalam menghadapi tentara salib. Namun sejauh yang penulis ketahui, kisah ini sama sekali tidak memiliki rujukan. Tidak ada satu pun penulis sejarah Shalahuddin dan Perang Salib yang hidup sejaman dengannya yang menyebutkan tentang hal ini. Jika Shalahuddin memang menjadikan maulid sebagai bagian dari perjuangannya, tentu buku-buku sejarah pada masa itu akan menyebutkan tentang hal itu walaupun sedikit.
Selain pendapat di atas, ada juga sebagian kaum Muslimin yang menentang maulid, begitu pula beberapa sejarawan Barat, yang mengatakan bahwa perayaan ini bersumber dari Dinasti Fatimiyah (909-1171) yang berpaham Syiah Ismailiyah. Dinasti inilah yang pertama kali mengadakan perayaan maulid Nabi, serta maulid Ali dan beberapa maulid keluarga Nabi lainnya. Bahkan ada artikel yang begitu bersemangat mengkritik maulid menyebutkan bahwa maulid “berasal dari kaum bathiniyyah (maksudnya Dinasti Fatimiyah, pen.) yang memiliki dasar-dasar akidah Majusi dan Yahudi yang menghidupkan syiar-syiar kaum salib.”
Terlepas dari perbedaan dan permusuhannya dengan Ahlu Sunnah, Dinasti Fatimiyah pada masa itu juga berperang menghadapi kaum salib. Jadi, menyebut dinasti Fatimiyah atau perayaan maulid sebagai “menghidupkan syiar-syiar kaum salib” merupakan tuduhan yang terlalu jauh dan mengada-ada.
Perayaan Maulid oleh Dinasti Syiah Fatimiyah
Beberapa buku sejarah memang menyebutkan bahwa Dinasti Fatimiyah mengadakan perayaan maulid Nabi. Perlu diketahui sebelumnya bahwa pemerintahan Fatimiyah berdiri pada tahun 909 M di Tunisia. Enam dekade kemudian memindahkan pusat kekuasaannya ke Kairo, Mesir dan runtuh pada tahun 1171, dua tahun setelah masuknya Shalahuddin ke Mesir.
Adanya perayaan maulid oleh Dinasti Fatimiyah disebutkan antara lain oleh dua orang sejarawan dan ilmuwan pada masa Dinasti Mamluk. Beberapa abad setelah masa hidup Shalahuddin dan terjadinya Perang Salib. Kedua sejarawan yang sama-sama memiliki nama Ahmad bin Ali itu adalah al-Qalqashandi (w. 1418) dan al-Makrizi (w. 1442). Menurut Nico Kaptein dalam disertasinya yang dibukukan, Muhammad’s Birthday Festival (1193: 7-19), kedua sejarawan ini merujuk pada tulisan para sejarawan sebelumnya yang mengalami jaman Fatimiyah, terutama Ibn Ma’mun (w. 1192) dan Ibn al-Tuwayr (w. 1220).
Al-Qalqashandi menyebutkan tentang perayaan maulid Nabi oleh Dinasti Fatimiyah secara ringkas dalam kitab Subh al-A’sya jilid III (1914: 502-3). Perayaan itu dilakukan pada tanggal 12 Rabiul Awwal, dipimpin oleh Khalifah Fatimiyah dan dihadiri oleh para pembesar kerajaan seperti Qadhi al-Qudhat, Da’i al-Du’at, dan para pembesar kota Kairo dan Mesir. Hidangan disediakan untuk yang hadir dan jalur ke istana ditutup dari orang-orang yang lewat di dekat tempat itu. Setelah semua berkumpul, orang kepercayaan khalifah memberi tanda dan acara pun dimulai dengan khutbah dari penceramah – dalam sumber lain disebutkan bahwa acara dibuka dengan pembacaan al-Qur’an dan diikuti dengan khutbah oleh tiga penceramah berturut-turut (Kaptein, 1993: 13-5). Setelah khutbah selesai, acara diakhiri dan orang-orang pun kembali ke rumah masing-masing. Hal yang sama juga berlaku pada perayaan maulid Ali bin Abi Thalib ra, maulid Fatimah, maulid Hasan dan Hussain ra, dan maulid khalifah sendiri.
Sebagaimana disebutkan dalam Encyclopaedia of Islam jilid 6 (1991: 895) dan juga buku Kaptein (1993: 9-10), al-Maqrizi (saya tidak merujuk langsung dari kitab beliau) juga menjelaskan hal yang kurang lebih sama. Salah satu perayaan maulid itu diadakan pada tahun 517 H (1123 M). Sebelum itu tentunya sudah ada perayaan maulid juga, tetapi buku-buku sejarah tidak menyebutkan sejak tahun berapa perayaan ini mulai dilakukan.
Kaptein (1993: 28-9) berpendapat perayaan maulid yang berlaku di dunia Sunni merupakan kelanjutan dari perayaan maulid Fatimiyah ini. Ia juga percaya bahwa saat terjadi pergantian kekuasaan dari Dinasti Fatimiyah kepada Shalahuddin, perayaan maulid Nabi tetap berlangsung di tengah masyarakat Mesir. Hanya maulid selain maulid Nabi yang dihapuskan oleh pemerintahan Shalahuddin, sementara maulid Nabi tetap diizinkan berjalan. Namun pendapat Kaptein ini lebih bersifat dugaan dan penafsiran atas teks yang tidak sepenuhnya bisa dijadikan pegangan.
Ada beberapa alasan untuk memilih pendapat yang sebaliknya. Pertama, sebagaimana digambarkan dalam sumber-sumber yang ada, maulid Fatimiyah ini merupakan maulid yang bersifat elit. Ia dilaksanakan oleh istana dan dihadiri oleh pembesar kerajaan dan tokoh-tokoh masyarakat. Tidak ada informasi yang menyebutkan bahwa perayaan ini bersifat populer dan dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat Mesir ketika itu, baik Sunni maupun Syiah. Perayaan maulid Fatimiyah ini sempat dihentikan oleh wazir Fatimiyah yang bernama al-Afdal yang memerintah pada tahun 1094-1122. Belakangan khalifah mengupayakannya lagi atas usulan beberapa pembesar di sekitarnya (Kaptein, 1993: 24-5). Kisah tentang konflik ini hanya berkisar di sekitar istana. Tidak ada informasi tentang apa yang terjadi di masyarakat Mesir terkait pelarangan tersebut.
Kedua, sejauh ini kita juga tidak menemukan sumber-sumber sejarah yang ada menceritakan tradisi perayaan maulid di tengah masyarakat Syiah Ismailiyah pada masa itu. Masyarakat Syiah ketika itu bukan hanya tinggal di Mesir, tetapi juga di Suriah, Irak, dan Yaman (lihat misalnya The Chronicle of Ibn al-Athir/ Tarikh Ibn al-Athir).
Ketiga, dalam perjalanan hajinya ke Makkah melalui Mesir pada tahun 1183, Ibn Jubair (2001: 31-68) sama sekali tidak menyebutkan adanya kebiasaan maulid di Mesir. Saat itu sudah dua belas tahun sejak runtuhnya Dinasti Fatimiyah dan Mesir telah diperintah oleh Shalahuddin. Pada bulan Rabiul Awwal tahun itu, Ibn Jubair (w. 1217) masih belum menyeberang dari Mesir menuju Jeddah. Jika kebiasaan maulid di Mesir merupakan kebiasaan yang populer di tengah masyarakat sejak masa Fatimiyah, dan kemudian bersambung pada masa Shalahuddin, rasanya kecil kemungkinan hal ini akan terlewat dari pengamatan Ibn Jubair untuk kemudian ia tuangkan di dalam buku perjalanannya (The Travels of Ibn Jubayr/ Rihla). Sementara, Ibn Jubair jelas-jelas menyebutkan adanya peringatan maulid di Makkah sebagaimana akan disebutkan nanti.
Kemungkinan bahwa perayaan maulid Nabi di dunia Sunni menerima pengaruh dari maulid Fatimiyah memang ada. Namun pada saat yang sama juga ada hal-hal yang melemahkan pendapat ini. Argumen paling menonjol yang dimiliki untuk mendukung pendapat ini hanyalah kenyataan bahwa keberadaannya mendahului perayaan maulid di tengah masyarakat Sunni.
Dalam kaitannya dengan pengaruh Syiah terhadap maulid di tengah masyarakat Sunni, Marion Holmes Katz dalam bukunya The Birth of Prophet Muhammad (2007: 3-4) menyatakan kemungkinan adanya pengaruh Syiah Imamiyah (Itsna Asy’ariyah). Pengaruh ini, menurutnya, terutama dalam hal “private and devotional aspects” dari peringatan maulid. Walaupun pengaruh ini mungkin terjadi, hal ini pun lebih bersifat dugaan. Argumen utamanya, seperti sebelumnya, adalah adanya teks dan riwayat Syiah Imamiyah yang mendahului informasi tentang adanya maulid di dunia Sunni.
Maulid di kalangan Imamiyah ini berbeda dengan yang berlaku di Dinasti Fatimiyah. Ia lebih berupa peringatan yang bersifat individu dan anjuran untuk meningkatkan amal, khususnya puasa, sedekah, dan berziarah. Bagaimanapun, kalangan Imamiyah menyepakati tanggal 17 Rabiul Awwal sebagai tanggal kelahiran Nabi, berbeda dengan dunia Sunni yang memiliki beberapa riwayat tentang itu yang mana tanggal 12 Rabiul Awwal kemudian menjadi pendapat yang paling banyak diambil. Selain itu, pengaruh Syiah Imamiyah ketika itu terlalu terbatas jika dibandingkan dengan Syiah Ismailiyah yang ditopang oleh adanya Kerajaan Fatimiyah. (bersambung)
Sumber: http://inpasonline.com/new/mencari-asal-usul-maulid-nabi/