Chanelmuslim.com- Publik, khususnya warga Jakarta, akhirnya harus menerima kenyataan bahwa kontestasi Pilkada DKI Jakrata 2017 tidak diikuti oleh dua calon pasangan. Koalisi kekeluargaan yang semula kompak menantang calon petahana, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, akhirnya pecah di garis start.
Tanggal 8 Agustus 2016 mestinya menjadi momen luar biasa dalam dinamika Pilkada DKI Jakarta. Pada hari itu, 7 partai yang terdiri dari PDIP, Gerindra, PKS, PKB, PAN, PPP, dan Demokrat mendekralasikan berdirinya Koalisi Kekeluargaan. Nantinya, koalisi besar ini akan siap bertempur melawan calon petahana, Ahok.
Sayangnya, koalisi yang semula disambut antusias publik, khususnya warga Jakarta, pecah kongsi. Dan justru, pecahnya di saat proses Pilkada berada di garis start, pendaftaran siapa pasangan calon.
Setelah sebelumnya, PDIP menyatakan secara resmi gabung dengan kubu Ahok, semalam (Kamis/22/9) bertempat di Cikeas, gabungan partai yang terdiri dari Demokrat, PPP, PAN, dan PKB mendeklarasikan calon lain: Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni.
Dengan begitu, praktis hampir bisa dipastikan, kontestasi Pilkada Jakarta 2017, akan diikuti tiga pasangan calon.
Pertanyaannya, ada apa di balik pecahnya koalisi besar kekeluargaan ini? Apakah hal ini menunjukkan masih kuatnya ambisi politik di masing-masing anggota koalisi untuk lebih banyak berperan, atau ada hal lain. Dengan adanya tiga calon, peluang menangnya calon petahana bisa dibilang besar. Karena, suara kubu penantang akan pecah ke dua calon yang berbeda.
Banyak hal yang bisa dicermati dari pecahnya koalisi kekeluargaan ini. Namun, ada satu sorotan menarik dari pecahnya koalisi kekeluargaan: benarkah ada kekuatan tingkat tinggi yang sengaja ingin “memuluskan” jalan bagi kemenangan Ahok di Pilkada DKI Jakarta 2017?
Sorotan berikut ini boleh jadi menguatkan adanya desain tingkat tinggi yang sejak dari awal memang menginginkan calon petahana bisa menang. Karena itu, berbagai peluang untuk munculnya kekuatan lawan yang berpotensi besar bisa unggul semaksimal mungkin bisa dilemahkan.
Bacaan ini bisa ditelisik dari ungkapan yang disampaikan calon kuat penantang Ahok, Ridwan Kamil, pada bulan Februari 2016. Saat itu, tanggal 29/2, Ridwan Kamil bercerita kepada media bahwa ia mengurungkan diri untuk ikut kostestasi Pilkada DKI Jakarta.
Walikota Bandung ini menuturkan pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo. Menurutnya, Presiden Jokowi mengharapkan Ridwan tetap memimpin di Bandung. Alasannya, orang-orang hebat di Indonesia sebaiknya tersebar di seluruh negeri. Tidak terpusat di satu tempat.
Bukan hanya Presiden Jokowi yang melontarkan pernyataan ini secara khusus kepada Ridwan Kamil, bahkan para pimpinan tinggi negara pun ikut menyatakan hal yang sama. Antara lain, Ketua MPR, DPR, dan DPD.
Bahkan, Ketua Umum Gerindra pun yang menjadi pimpinan langsung Ridwan Kamil di kepartaian ikut menyatakan hal yang sama.
Dari sinilah, harapan publik Jakarta untuk bisa memboyong Walikota yang menjadi pusat perhatian karena berbagai prestasinya ini pupus di tengah jalan. Ridwan Kamil lebih memilih tetap di Bandung daripada ikut mencalonkan diri di Pilkada Jakarta.
Dari sini pula, publik bisa membaca ambigi Gerindra di Pilkada ibukota. Bagaimana mungkin Gerindra yang terlihat bersemangat untuk bisa menang di “pertarungan” ini tidak menjagokan calonnya yang sudah mempunyai modal dukungan publik yang besar.
Ada jeda waktu yang cukup lama, sejak Maret hingga Juli, partai Gerindra tidak terlihat menggebu-gebu menggusur Ahok. Hal ini terlihat dari ketidakjelasan siapa calon yang akan diusung. Sementara, sosok Sandiaga Uno seperti dibiarkan bertarung sendiri melawan isu miring Panama Papers yang mengaitkan namanya.
Di tengah ketidakjelasan itu, pada bulan Mei, Gerindra pun memunculkan sosok petinggi TNI, Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin sebagai calon kuat yang akan diusung. Selama ini, publik memahami betul adanya kedekatan yang kuat antara mantan Wakil Menteri Pertahanan ini dengan Prabowo.
Namun lagi-lagi, nama Sjafrie pun lenyap begitu saja. Pada akhir Juli, Rapat Koordinasi Nasional Partai Gerindra akhirnya memutuskan untuk mengusung Sandiaga Uno yang juga Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra, sebagai calon penantang Ahok.
Padahal, sosok Sandiaga saat itu masih begitu asing untuk masyarakat Jakarta di tingkat akar rumput. Elektabilitasnya dalam berbagai survei pun masih jauh di bawah Ridwan Kamil dan Ahok.
Fakta lainnya datang dari kubu PDIP. Sulit bisa dimengerti publik bagaimana mungkin partai yang punya kader hebat seperti Tri Risma Harini yang dalam survei menang melawan Ahok walau dipasangkan dengan siapa pun, bisa lebih memilih dukung Ahok, walaupun sudah menjadi rahasia umum adanya ketidakcocokan antara Ahok dan Djarot selama dalam kepemimpinan DKI 1 dan 2.
Keputusan PDIP mendukung Ahok muncul setelah beberapa bulan adanya ketidakjelasan kemana arah PDIP berlabuh. Padahal, sejak deklarasi koalisi kekeluargaan pada awal Agustus, peran PDIP di kubu ini menjadi sangat sentral.
Ketidakjelasan arah PDIP di Pilkada DKI ini, diakui calon dari Gerindra, Sandiaga Uno mempunyai pengaruh yang kuat. Bahkan, ia siap menjadi calon wakil gubernur jika yang menjadi calon gubernurnya Tri Risma Harini dari PDIP.
Baru pada hari terakhir dibukanya tanggal pendaftaran, PDIP mengumumkan sikapnya. Dan jelas, sikap yang diputuskan PDIP, sangat merugikan kubu penantang Ahok, dalam hal ini koalisi kekeluargaan. Karena keputusan di last minute ini menyulitkan pihak koalisi ini membuat strategi baru.
Selain dari elit Gerindra dan PDIP, tokoh sekaliber Susilo Bambang Yudhoyono pun ikut “melemahkan” koalisi penantang Ahok dengan mendeklarasikan calon lain sebelum calon utama yang disepakati mendaftar.
Seperti mengikuti jejak PDIP yang membuat kejutan di last minute, kubu Cikeas yang tergabung dalam koalisi empat partai: Demokrat, PPP, PAN, dan PKB mengusung nama lain di luar yang diagendakan koalisi kekeluargaan.
Menariknya, tak satu pun dari empat elit partai ini yang keberatan. Padahal, tak satu pun dari tokoh partai ini, khususnya PAN, PPP, PKB; yang terpilih sebagai calon DKI 1 dan 2.
Kini, praktis, tinggal dua partai yang tersisa dalam koalisi kekeluargaan yang sudah pecah itu: Gerindra dan PKS. Untuk ukuran waktu yang sangat sempit ini, pendaftaran terakhir hari ini (Jumat/23/9), Gerindra dan PKS sepertinya tak ada pilihan lain buat keduanya, selain sekadar mempertahankan eksistensi koalisi yang tersisa.
Memang, publik belum bisa menangkap secara jelas, kekuatan tingkat tinggi seperti apa yang begitu powerfull bisa mengendalikan para tokoh nasional ini untuk kompak “memuluskan” jalan bagi Ahok kembali memimpin Jakarta. Dan, entah untuk tujuan apa, termasuk persiapan calon RI 2 di Pemilu 2019. (mh/foto: kompas)