ChanelMuslim.com- Di sebuah warung kopi milik Mak Nap, selalu saja ada obrolan dari para pengunjung. Mulai tukang ojek, tukang parkir, sopir angkot, bang haji, dan bu erte.
Silih berganti, para pengunjung ini mewarnai suasana warung kopi Mak Nap dengan berbagai obrolan ‘hangat’. Termasuk di pagi ini, ketika Bang Dul si tukang ojek dan Bang Mamat si tukang parkir yang selalu hadir ‘nyeruput’ kopi hitam racikan Mak Nap.
**
“Kemaren daging, sekarang cabe,” ucap Bang Dul yang nyeruput kopi sambil tatapannya tertuju ke halaman koran yang ia pegang.
“Elu ngomong apa sih, Dul?” sahut Mak Nap yang masih asyik dengan kegiatan menggorengnya.
“Cabe mahal banget, Mak!” timpal Bang Mamat yang tiba-tiba nimbrung dalam obrolan. “Masak nyampe dua ratus ribuan sekilonya,” tambah Bang Mamat, penuh kecewa.
“Kata koran, apa biang keroknya, Dul?” ucap Mak Nap sekenanya.
“Kata para pejabat, faktor cuaca, Mak!” ungkap Bang Dul sambil pandangannya tetap ke arah koran.
“Cuaca lagi, cuaca lagi, capek deh!” celetuk Bang Mamat yang mulai nyeruput kopi yang baru disajikan Mak Nap.
“Dul, emang yang hujan terus di kita doang, apa?” tanya Mak Nap mulai agak serius.
“Bang Dul mana tahu, Mak. Dia kan belum pernah keluar negeri,” sahut Bang Mamat sambil tersenyum.
“Iya, saya juga heran, Mak. Kok di sini doang yang cabenya selangit. Kan hujan ada di mana-mana. Dulu begitu juga. Yang harga dagingnya melejit cuma di kita doang. Negara lain, biasa-biasa aja, tuh,” ucap Bang Dul, percaya diri.
“Kalau cabe karena cuaca, kalau daging karena apa, Bang Dul?” tanya Bang Mamat yang juga tertarik dengan harga daging.
“Ya, cuaca juga kali, Mat. Sapinya pada kurus karena kepanasan. He..he..he,” sahut Bang Dul sambil senyum.
“Hujan salah, panas salah. Kasihan banget cuaca disalahin terus,” timpal Bang Mamat sambil tangannya meraih gorengan tahu isi di meja.
“Jangan salahin hujan, Bang Mamat. Dosa!” suara Bang Haji yang tiba-tiba nongol di warung kopi Mak Nap.
“Eh, Bang Haji. Mau ngopi juga, Ji?” ucap Mak Nap, ramah. Bang Haji pun mengangguk.
“Bukan saya yang nyalahin, Bang Haji. Tuh, pejabat yang di koran Bang Dul!” sanggah Bang Mamat.
“Saya juga heran, Bang Haji. Musim hujan kan tiap tahun. Apa gak bisa disiapin jauh-jauh hari?” Bang Mamat kembali bereaksi.
“Hujan itu rahmat Allah. Mestinya, kita bersyukur Allah kasih hujan. Jangan disalahin,” ucap Bang Haji yang sesekali nyeruput kopi yang masih panas.
“Menurut Bang Haji, apa gak ada sebab lain sampa cabe segitu mahalnya?” Bang Dul seperti ingin menguji pengetahuan Bang Haji.
“Yang namanya harga itu kan selalu ada dua pihak yang terlibat. Satu pedagang, dua pemerintah. Yang lain sih tergantung dua itu,” jelas Bang Haji, rileks.
“Maksudnya gimana, Bang Haji?” tanya Bang Mamat ingin tahu.
“Pemerintah itu pihak yang paling mampu dan berkewajiban mengatur ketersediaan barang buat rakyatnya. Sementara pedagang, dia yang paling tahu keadaan di lapangan. Maksud saya, pedagang besar, ya. Bukan pedagang di kios sama warung,” ungkap Bang Haji yang diiringi anggukan Bang Mamat.
“Kok, sekarang ini keadaannya jadi gak kayak gitu ya, Bang Haji?” ucap Bang Dul agak bingung.
“Nah itu dia. Kita khawatir kalau fungsi keduanya sudah kebalik,” jelas Bang Haji.
“Kebalik gimana, Ji?” sahut Mak Nap yang menunjukkan seolah ikut nimbrung dalam diskusi.
“Jangan sampe, pedagang jadi penguasa yang bebas nentuin harga. Dan, pemerintah yang jadi pedagang, nungguin celah bisa nyari untung di kesusahan rakyat!” jelas Bang Haji yang diiringi anggukan Bang Dul dan Bang Mamat.
“Maksudnya impor, Bang Haji?” bisik Bang Dul ke Bang Haji.
“Begitu deh, Bang Dul!” ucap Bang Haji, ringan.
Tiba-tiba, Bang Mamat berdiri sambil celingukan. Sambil tangan kanannya memegang gorengan tahu isi, tangan kirinya mengangkat piring, seperti mencari sesuatu.
“Elu nyari apaan, Mat?” sergah Mak Nap, mengungkapkan keheranannya.
“Cabenya mana, Mak?” sahut Bang Mamat.
“Yah, kan elu sendiri yang bilang harganya sampe dua ratus ribuan. Masak Mak mesti jual kalung buat beli cabe?” ucap Mak Nap yang diiringi tertawaan Bang Dul dan Bang Haji. (mh/foto: merdeka.com)