Chanelmuslim.com – “Saya diminta berpidato, tapi sebenarnya ibu-ibu dan bapak-bapak sendiri memaklumi bahwa saya tak pandai pidato. Saya bukan tukang pidato seperti Buya Hamka. Pekerjaan saya adalah mengurus tukang pidato dari sejak memasakkan makanan hingga menjaga kesehatannya.”
Itulah kalimat singkat dari Siti Raham binti Endah saat didapuk memberikan pidato dalam kunjungan Buya Hamka ke Makassar. Tak disangka, ucapan dari wanita bersahaja itu mendapat sambutan besar dari ribuan hadirin. “Hidup Ummi.. Hidup Ummi!”
Buya Hamka pun meneteskan air mata. Tangis haru dari ulama besar itu mengiringi langkah kaki sang kekasih turun dari panggung. Betapa besar pengorbanan istri tercintanya dalam masa perjuangan. Siti Raham adalah garansi dari ketawadhuan di balik nama besar Buya Hamka.
Kisah cinta mereka dimulai pada 5 April 1929. Kala itu, Siti Raham berusia 15 tahun. Sedangkan Buya Hamka berumur 21 tahun. Sejak itu, mereka sah menjadi pasangan suami istri. Ya, di sebuah usia di mana muda-mudi saat ini tenggelam dalam kemaksiatan.
Perjuangan Buya Hamka meminang Siti Raham patutlah ditiru. Sebelum menikah, ia menulis roman berbahasa Minang berjudul “Si Sabariyah”. Buku itu dicetak tiga kali. Dari honor buku itulah Buya membiayai pernikahannya.
Banyak suka dan duka mewarnai perjalanan keduaya merajut rumah tangga. Ulama Muhammadiyah itu tidak salah memilih Siti Raham. Di saat ujian datang, wanita kelahiran 1914 ini tampil sebagai motivasi baginya. Tanpa mengeluh maupun gundah.
“Kami hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja terpaksa berganti-ganti, karena di rumah hanya ada sehelai kain,” tutur Hamka dalam buku biografi “Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr. Hamka” karangan Rusydi Hamka.
Puncak kemiskinan dua sejoli ini terjadi ketika lahir anak ketiga, yaitu Rusydi Hamka. Rusydi lahir di kamar asrama, Kulliyatul Mubalighin, Padang Panjang pada 1935. Sedangkan anak pertama, Hisyam, meninggal saat usia lima tahun. Besarnya beban ekonomi ditambah kerasnya penjajahan, membuat Hamka harus memutar otak untuk membiayai anak-anaknya.
Dalam kondisi kekurangan itulah Hamka ke Medan untuk bekerja di Majalah
Pedoman Masyarakat. Selama di sana, ia banyak menulis artikel di pelbagai majalah. Ia mengirimkan tulisan-tulisannya untuk surat kabar Pembela Islam di Bandung dan Suara Muhammadiyah yang dipimpin Abdul Rozak Fachruddin di Yogyakarta.
Hamka juga bekerja sebagai koresponden di Harian Pelita Andalas dan menuliskan laporan-laporan perjalanan, terutama perjalanannya ke Mekkah pada tahun 1927. Dari situlah lahir Novel Hamka Di Bawah Lindungan Ka’bah.
Di balik tanggung jawab Hamka, tak lupa kesetiaan Siti Raham mengiringinya. Wanita tegar itu selalu menjalankan amanah Buya Hamka untuk menjadi istri taat dan mendidik anak-anak di kala Buya tiada bersamanya.
Dengan kondisi pas-pasan, Buya Hamka mampu menahkodai rumah tangga dengan tujuh orang anak. Itu belum ditambah beberapa kemenakan yang ikut dibiayai Buya Hamka. Sebab, dalam adat Minang, seorang mamak punya tanggung jawab terhadap kemenakan dan saudara perempuannya.
Rusydi mengatakan, Hamka adalah orang yang biasa-biasa saja. Berbeda dengan pria keturunan Minang yang pandai berdagang, Buya Hamka tidak memiliki bakat bisnis. Hamka juga bukanlah orang yang hidup dari gaji pemerintah.
“Ketika pindah ke Padang Panjang dalam suasana revolusi, Ayah jelas tak punya sumber kehidupan tetap yang diharapkan setiap bulan,” terang Rusydi Hamka.
Saat memimpin Muhammadiyah di Sumatera Barat, Buya Hamka kerap keliling kampung untuk berdakwah. Perjalanan itu dilaluinya dengan bendi maupun berjalan kaki. Hal itu dilakukan selama berhari-hari tanpa pulang ke rumah.
Maka saat menemui istrinya di rumah, pertanyaan yang sering diutarakan Buya Hamka adalah, “Apakah anak-anak (bisa) makan?” Hingga Buya Hamka sengaja menepuk perut anak-anaknya untuk mengetahui apakah buah hatinya lapar.
Di sinilah, Siti Raham sukses menjalankan amanah sebagai ibu. Agar anak-anaknya tidak kelaparan, Siti Raham rela menguras harta simpanannya. Beliau bukanlah wanita yang menjadikan perhiasan sebagai makhota. Karena makhota sejatinya adalah keluarganya.
Maka kalung, gelang emas, dan kain batik halus yang dimilikinya terpaksa dijual di bawah harga. Uangnya dipakai untuk membeli beras dan membayar biaya sekolah anaknya. Biarlah dirinya kesusahan, asal perut anak-anaknya tidak kelaparan dan tetap bisa melanjutkan pendidikan. Begitu mungkin maksud Siti Raham.
Kerap kali ia meneteskan air mata, ketika membuka almarinya untuk mengambil kain-kain simpanannya untuk dijual ke pasar. Tak tega melihat istrinya terus menguras hartanya, Buya Hamka mengeluarkan beberapa helai kain Bugisnya untuk dijual. Namun sang istri mencegahnya.
“Kain Angku Haji jangan dijual, biar kain saya saja. Karena Angku Haji sering keluar rumah. Di luar jangan sampai Angku Haji keliharan sebagai orang miskin,” ujarnya.
Demikianlah dalam keadaan sederhana Siti Raham masih mempertimbangkan kehormatan suaminya. Apa saja dilakukan agar Buya Hamka tidak terlihat lusuh di mata jama’ah. Dari mulai memikirkan pakaian hingga membersihkan kopiah. Karena cinta adalah kehormatan.
Maka melihat Buya Hamka menangis saat dirinya turun dari mimbar pidato di Makassar, sang istri hanya bisa tersenyum, “Kan yang Ummi pidatokan itu kenyataannya saja.” [pz]