ChanelMuslim.com- Riyadh. Mahasiswa Indonesia yang belajar di mancanegara tak hanya suntuk dengan urusan pribadi, namun juga memiliki kepedulian terhadap masalah di Indonesia dan luar negeri. Hal itu tampak ketika delegasi Pimpinan MPR RI menyediakan waktu khusus berdialog dengan mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Saudi.
Kunjungan delegasi MPR RI ke Arab Saudi (22-26 Desember 2019) tak hanya bertemu Raja Salman, Ketua Majelis Syura Arab Saudi dan Sekjen World Muslim League, tetapi juga bertatap-muka dengan warga negara dan mahasiswa Indonesia. Dalam pertemuan di Hotel Radisson Blue, dekat kantor KBRI Riyadh, hadir perwakilan mahasiswa yang berasal dari berbagai kampus.
Salah seorang wakil mahasiswa, Ridho menjelaskan mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Saudi berjumlah sekitar 1.500 orang. Mereka kuliah di 19 kampus yang tersebar di 16 kota. Tidak hanya menuntut ilmu agama, melainkan juga sains dan teknologi karena kampus di Saudi sudah berstandar internasional.
"Kami mahasiswa Indonesia berusaha menunaikan kewajiban utama untuk belajar sesuai dengan kompetensi masing-masing. Tetap kami juga peduli dengan masalah kemanusiaan karena UUD NRI 1945 menyatakan dalam Pembukaan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Dari situ kami belajar memahami semangat para Pendiri Bangsa," ujar Ridho yang kini menjabat Ketua Perhimpunan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) di Saudi.
Berbagai isu kemanusiaan sempat dibahas dan diadvokasi mahasiswa, antara lain penindasan yang terjadi terhadap rakyat Palestina, Uighur dan Rohingnya. Bahkan, mahasiswa sempat melakukan simposium internasional di Amman, Yordania untuk membahas isu global dan perdamaian dunia. Perwakilan mahasiswa dari 17 negara di kawasan Timur Tengah hadir.
"Kami ingin mengetahui sejauhmana sikap pemerintah Indonesia terhadap masalah kemanusiaan seperti Palestina dan Uighur. Kami sudah berdiskusi dan kampanye damai, namun yang dibutuhkan adalah tindakan kongkrit. Kami sadar itu hanya bisa dilakukan pemerintah yang memiliki otoritas dan sumber daya," tanya Ridho yang kuliah di King Saud University.
Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid sangat senang melihat semangat mahasiswa. Itu mengingatkan saat Hidayat belajar di Islamic University Madinah selama 13 tahun (1980-1993) untuk menempuh pendidikan sarjana hingga doktoral. Hidayat juga pernah aktif sebagai Ketua PPI cabang Arab Saudi sebelum berubah menjadi PPMI.
"Perlu dijelaskan posisi MPR (yang terdiri dari anggota DPR dan DPD RI) dalam tata negara memang berbeda dengan pemerintah atau Presiden dan kabinetnya. Posisi kami mengawasi jalannya pemerintahan sesuai UUD dan UU terkait. Jika sikap pemerintah sudah sejalan dengan semangat konstitusi, maka kita dukung. Bila menyimpang, kami akan ingatkan," Hidayat menegaskan.
Berkaitan dengan sikap dan kebijakan pemerintah terhadap isu-isu kemanusiaan memiliki koridor tersendiri, yang biasa disebut kepentingan nasional. Namun, konstitusi juga menggariskan prinsip yang harus dipegang pemerintah dalam menjalankan kebijakan.
"Dalam kaitan dengan isu Palestina, kami melihat pemerintah sudah cukup serius. Mulai dari upaya diplomatik di forum internasional maupun tindakan di lapangan. Namun, dalam isu Uighur yang mencuat saat ini, kami ingatkan agar pemerintah Indonesia jangan sekadar menjadi penonton. Karena sudah 22 negara anggota PBB yang menyetujui petisi agar pemerintah RRC diminta penjelasan Komisi HAM PBB," ungkap Hidayat.
Sikap pemerintah jangan pasif yang dibungkus istilah soft diplomacy, karena politik luar negeri kita berprinsip bebas-aktif. Indonesia bisa mendorong dibentuknya komisi pencari fakta independen yang beranggotakan tokoh-tokoh profesional dan kredibel dari berbagai negara.
Disamping itu, isu politik identitas yang mewarnai perpolitikan nasional juga berdampak kepada mahasiswa di luar negeri. Sebagaimana diungkap Nur Iman, mahasiswa KSU yang mendalami food industry. Dampak yang meresahkan berupa stigma negatif radikalisme terhadap penampilan fisik.
"Saya pernah tertahan beberapa lama di bandara Tanah Air ketika hendak berangkat ke luar negeri hanya karena bercelana cingkrang dan sedikit jenggotan. Padahal saya tidak terlibat organisasi radikal apapun. Kami hanya ingin belajar dan berkontribusi kepada bangsa dan negara. Kita juga mengetahui dari sejarah, betapa besar kontribusi umat Islam terhadap Indonesia. Mengapa sekarang harus dicurigai?" tanya Iman.
Hidayat turut prihatin dengan pengalaman buruk yang dialami mahasiswa berkaitan salah kaprah politik identitas. "Selama ini politik identitas dikaitkan dengan radikalisme Islam. Padahal, radikalisme sekuler atau liberal, identitas juga kan. Demikian pula bangsa Indonesia memegang Pancasila sebagai identitas nasional," tegas Hidayat.
Upaya framing dan labelling terhadap gerak-gerik umat Islam akan melemahkan ikatan kebangsaan, tidak hanya merugikan sekelompok warga negara. Hal itu pernah dibeberkan Hidayat selaku anggota Komisi 8 DPR RI ketika rapat kerja dengan Menteri Agama RI.
"Sejarah berdirinya Kementerian Agama di awal kemerdekaan Indonesia sebagai bentuk penghargaan kepada umat Islam yang telah berjasa mempertahankan kemerdekaan. Karena itu, jangan sampai Kemenag hanya sibuk mengurus isu radikalisme yang bukan tupoksinya. Lebih penting mengembangkan potensi umat beragama sebagai modal keunggulan bangsa Indonesia," Hidayat memaparkan.
Hidayat berharap mahasiswa tetap menjaga idealisme di tengah perjuangan untuk menuntaskan studi. Sebagai mahasiswa dulu Hidayat bercerita ditemani himar (keledai) dan serigala yang berkeliaran di padang pasir. Saat ini lingkungan fisik negara-negara Timur Tengah telah berubah dengan sangat pesat. Fasilitas pendidikan tersedia juga lebih baik dan lebih maju dibanding zaman dulu. "Mestinya mahasiswa-mahasiswa zaman now bisa lebih sukses agar nanti dapat berkontribusi bagi kemajuan Indonesia. Pintunya sudah dibuka para senior alumni Saudi. Tidak ada diskriminasi untuk berperannya alumni Saudi untuk maju jayanya Indonesia," tutur Hidayat.
Buktinya sebagai alumni Pesantren Gontor dan universitas Saudi, Hidayat sempat mendapar amanah sebagai Ketua MPR RI (2004-2009) dan sekarang dipercaya menjadi Waket MPR RI. Idealisme mahasiswa harus dipertahankan untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan dalam UUD NRI 1945. [Mh/Sapto W]