Oleh: Siti Faizah, Ketua Umum PP Salimah 2015-2020.
ChanelMuslim.com- Menjaga persatuan dan kesatuan sesama umat muslim adalah hal yang utama. Sebagaimana Allah Ta’ala mempersaudarakan sesama kaum muslim yang berlaku juga tali ikatan persaudaraan sesama muslimah, karena keimanan kepada-Nya atau dikenal dengan Ukhuwatul Muslimat. Diantara realisasi ukhuwah sesama muslimah, yakni seruan Rasulullah SAW kepada seorang perempuan agar menjadi muadzin untuk para muslimah dan seorang diantara mereka menjadi imam bagi sesama kaum muslimah.
Isteri Rasul SAW, Aisyah dan Ummu Salamah (semoga Allah SWT meridhoi keduanya), masing-masing pernah azan dan iqamat untuk kaum muslimah dan mengimami shalat bagi muslimah. Keduanya berdiri sebaris dengan mereka, tidak berdiri lebih maju ke muka. Berbeda dengan posisi berdiri (shaf) kaum perempuan ketika shalat berjama’ah bersama laki-laki, maka posisi perempuan berada di belakang laki-laki. Sebagaimana sabda Nabi SAW, “….sebaik-baik shaf perempuan ialah yang paling belakang….”
Dalam shalat berjamaah, perempuan tidak boleh menjadi imam bagi laki-laki. Namun perempuan diperbolehkan bahkan lebih utama menegakkan shalat berjama’ah, yakni shalat bersama-sama dengan mengikuti seorang imam, baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan orang yang mengikuti dinamakan makmum.
Dalam shalat berjamaah, terdapat beberapa syarat yang mesti diikuti makmum. Yakni berniat shalat mengikuti imam, mengetahui dan mengikuti segala perbuatan imam, tidak boleh mendahului imam. Dalam shalat berjamaah, makmum laki-laki mengikuti imam laki-laki dan makmum perempuan boleh mengikuti imam laki-laki atau imam perempuan. Seorang imam hendaklah orang yang baik bacaan al Qur’annya.
Suara perempuan dalam shalat berjamaah sama halnya dengan suara kaum lelaki, yakni mengeraskan suara (bacaan shalat) dalam shalat maghrib, isya dan subuh. Serta merendahkan suara dalam shalat dzhur dan ashar.
Termasuk hikmah dalam shalat berjamaah, yakni makmum bisa mengingatkan imam ketika terdapat suatu kekurangan, kealpaan dalam pelaksanaan shalat. Maka makmum perempuan diperbolehkan mengingatkan imam, dengan cara memukulkan telapak tangan kanan ke punggung tangan kiri. Sebagaimana sabda Rasul SAW, “Tasbih bagi laki-laki dan tepuk tangan bagi perempuan.”
Apabila seorang makmum tertinggal shalat berjamaah dari permulaan takbiratul ihram atau mendapat imam dalam posisi I’tidal (bangun dari ruku’), sujud atau tasyahud, maka makmum boleh menyusul dan mengikuti imam. Makmum dianggap sah shalatnya jika mendapati imam dalam posisi berdiri atau ruku’ dengan nilai satu rakaat. Setelah imam salam, maka makmum dipersilahkan melengkapi kekurangan rakaat shalatnya sesuai jumlah rakaat sebagaimana mestinya (empat rakaat bagi shalat dzuhur, ashar dan isya’. Tiga rakaat bagi shalat maghrib dan dua rakaat bagi shalat subuh).
Dari sisi waktu pelaksanaan, shalat sendiri dan shalat berjamaah membutuhkan waktu yang sama dan sama-sama melaksanakan. Namun sangat jauh berbeda dari sisi pahala dan keutamaan yang didapatkan dari shalat berjamaah. Yakni mendapatkan pahala dua puluh tujuh kali lebih besar dari pahala shalat sendirian.
Sangat disayangkan jika di musholla atau masjid yang disiapkan khusus bagi kaum perempuan, namun di dalamnya tidak ditegakkan shalat berjamaah. Keberadaan dua orang perempuan sudah memenuhi syarat untuk bisa menegakkan shalat secara berjamaah. Yang satu menjadi imam dan satu lagi menjadi makmum.
Realitas kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa masih banyak ditemukan fenomena kaum muslimah yang gemar shalat sendiri (munfarid). Padahal mereka berada dalam rumah ibadah yang dikhususkan bagi perempuan. Bisa dikatakan cukup, sulit bahkan sangat sulit mencari muslimah yang bersedia diajak shalat berjamaah. Ketika diajak shalat berjamaah, mereka beralasan ‘shalat sendiri saja, saya buru-buru atau tidak mau’.
Bahkan sangat miris, apabila di mushola yang sudah tegak shalat berjamaah, masih banyak kaum muslimah yang memilih shalat sendiri dan tidak mengikuti shalat berjamaah. Bahkan banyak yang belum menyadari esensi shalat berjamaah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana keteladanan yang diberikan oleh isteri Nabi SAW dalam penegakannya. Oleh karenanya, Allah Ta’ala memberikan penghargaan dengan melipatgandakan pahalanya. Allohu a’lam bish showab. (Mh)