ADA empat kebaikan dunia dan akhirat yang bisa didapatkan seorang mukmin. Orientasi kebaikan dunia dan akhirat ini menjadi teman yang selalu mendampai mukmin dalam segala tindakannya.
Dalam sebuah hadis berbunyi:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” أَرْبَعٌ مَنْ أُعْطِيَهُنَّ فَقَدْ أُعْطِيَ خَيْرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ : قَلْبًا شَاكِرًا ، وَلِسَانًا ذَاكِرًا ، وبَدَنًا عَلَى الْبَلَاءِ صَابِرًا ، وَزَوْجَةً لَا تَبْغِيهِ خَوْفًا فِي نَفْسِهَا وَلَا مَالِهِ “
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Ada empat perkara, siapa yang mendapatkannya maka ia telah memperoleh kebaikan dunia dan akhirat, yaitu: lidah yang berdzikir, hati yang bersyukur, badan yang bersabar atas musibah, istri salehah yang tidak berkhianat atas dirinya dan harta suaminy.a” (HR. Thabrani)
Penjelasan Ustadz Faisal Kunhi M.A:
1. Lidah yang selalu berzikir adalah lisan yang selalu basah dengan kalimat-kalimat zikir dan ia tetap melakukannya terlebih ketika berada di tempat-tempat yang mengundang kelalaian seperti di pasar, pusat perbelanjaan dan lain sebagainya.
Ulama berkata, “Seorang yang berdzikir di tempat orang-orang lalai, seperti orang yang berperang ketika orang berlarian menjauh.”
2.
وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُسْرٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَجُلاً قَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَليَّ ، فَأَخْبِرْنِي بِشَيْءٍ أَتَشَبْثُ بِهِ قَالَ : (( لاَ يَزالُ لِسَانُكَ رَطْباً مِنْ ذِكْرِ اللهِ )) . رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ ، وَقَالَ : (( حَدِيْثٌ حَسَنٌ )) .
Dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat Islam ini telah banyak bagiku, maka beritahulah kepadaku sesuatu yang bisa aku pegang selalu.”
Beliau menjawab, “Hendaklah lisanmu selalu basah karena berdzikir kepada Allah.”
[HR. Tirmidzi, no. 3375. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan].
3. Lidah yang selalu berzikir maka akan diikuti oleh hati yang pandai bersyukur.
4. Tingkatan pertama syukur adalah menghadirkan perasaan bahwa seluruh nikmat berasal dari Allah walaupun hal itu terlihat datang dari makhluk, Allah berfirman:
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)”. (QS. An Nahl: 53).
5. Seorang yang kaya lisannya untuk selalu bersyukur, maka ia akan pandai bersabar ketika mendapatkan musibah.
Nabi Isa ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya kalian tidak akan sanggup memperoleh apa yang kalian cintai kecuali dengan bersabar terhadap apa yang kalian benci”.
6. Siapa yang diberikan nikmat untuk bisa bersabar makai ia telah diberikan nikmat yang besar. Ali bin Abi Thalib berkata, “Sabar adalah pedang yang tidak tumpu, dan anak panah yang tidak meleset”.
7. Wanita yang shalehah adalah nikmat yang besar, siapa yang mendapatkannya maka ia telah mendapatkan nikmat dunia dan akhirat.
Wanita shalehah bisa membantu suaminya untuk ta’at kepada Allah dan menjauhkannya dari maksiat.
8. Wanita pada masa salafush shaleh mendorong dan memotivasi suaminya keluar berjuang di jalan Allah.
Mungkin ada yang coba-coba bertanya kepada istrinya,“Bagaimana mungkin engkau membolehkan suamimu meninggalkanmu keluar berjuang? Apakah engkau sanggup hidup sendiri? Siapakah yang akan menafkahimu? Siapa yang menanggung beban anak-anakmu?”
Wanita shalehah itu menjawab, “Berhentilah bertanya seperti itu, bukankah sejak aku menikah dengan suamiku, aku mengetahui bahwa ia sekedar memakan rezeki yang telah ditentukan untuknya?
Yang aku ketahui suamiku bukanlah pemberi rezeki, jika seorang pemakan telah pergi maka yang menjaga kami adalah Dzat yang memberikan rizqi”.
9. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَالَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
“Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau,
“Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci.”
(HR. An-Nasai no 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih). [Ln]