DEWASA kita palsu. Menjadi dewasa ternyata tak semudah yang kita bayangkan. Segudang mimpi untuk menggapai surga-Nya pernah kita gaungkan dengan semangat membara.
Nyatanya perlahan terkikis, sebab dihantam realita.
Awal hijrah, kita bertekad agar menjadikan Al-Qur’an sebagai teman setia. Teman yang senantiasa membersamai setiap waktu.
Faktanya, kita seringkali mengabaikan bahkan menyapanya hanya di sisa-sisa waktu yang tidak seberapa.
Kemarin, dengan sigap kita mengusung proyek dakwah. Berharap lelah jadi Lillah. Waktu dan tenaga terkuras demi menata taman-taman surga-Nya. Demi mengajak saudari-saudari kita mengecap manisnya hidayah.
Ah, betapa kerennya kita saat itu. Duduk bermajelis, berharap jiwa tak merasakan kehampaan.
Menahan letihnya belajar tanpa harus mengkhawatirkan banyak hal, karena keyakinan kita terhadap-Nya yang bukan kaleng-kaleng.
Sekarang, beragam kesibukan dewasa mulai menghampiri, bahkan menggerogoti.
Seolah tidak ada celah, sebab keadaan memaksa kita memerankan banyak peran baru yang menyita banyak waktu, tenaga, dan pikiran.
Terkadang kita dilema, apakah ini kata hati atau bisikan setan laknatullah, tatkala terbesit ingin mundur dari amanah, mencipta jarak dari jamaah.
Apakah benar, rehat seperti ini yang kita inginkan?
Baca Juga: 10 Tips Hidup Sehat bagi Orang Dewasa
Dewasa Kita Palsu
Dulu, hampir saja kita tak melewatkan kesempatan berbagi dengan orang lain. Merelakan yang kita miliki sampai harus bersabar karena banyaknya keinginan yang tidak sempat terbeli.
Sekarang, pikiran begitu riuh. Berat rasanya jika jerih payah harus terbagi.
Belum belanja bulanan, tanggungan, tabungan, jajan, dan rencana masa depan yang belum pasti akan kita temui, tapi sudah simpang siur di kepala. Apatah lagi biaya tak terduga yang kadang membagongkan.
Sepertinya konsep mandiri kita sedikit keliru dan butuh diluruskan. Yang dulunya imbang antara dunia dan akhirat, sekarang tidak tahu imannya ke mana.
Apakah belajar mandiri membuat kita lupa pada Yang Maha Pengasih? Padahal tanpa-Nya, kita bukan siapa-siapa.
Semakin dewasa, ketenangan seperti angan-angan. Sangat sibuk mengejar suatu hal yang tidak menghilangkan dahaga.
Kita lupa bahwa dunia sebatas persinggahan. Sebuah jalan, bukan tujuan. Tujuan kita yang sebenarnya adalah menggapai rida-Nya agar berkah dunia akhirat.
Barangkali kita mainnya terlalu jauh, terlalu manut menjadi dewasa hingga terluput menyiapkan waktu khusyuk bersama-Nya. Semua serba terburu-buru.
Sadar atau tidak, hati kita teramat kotor. Dewasa kita palsu.
Semakin dewasa harusnya lebih bijak dan tahu diri, bukan tidak tahu malu. Merasa banyak dosa, tapi enggan mengaku taubat. Merasa hina, namun enggan berbenah.
Olehnya itu, mari introspeksi diri. Kembali berbenah, semoga segera menjadi pribadi dewasa yang sebenar-benarnya. Wallahu a’lam bisshawab.[ind]
Ditulis oleh: Rika Arlianti DM