ChanelMuslim.com – Catatan AILA (Aliansi Cinta Keluarga Indonesia) terhadap disetujuinya draft Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Rabu (8/12) lalu yaitu sebagai berikut.
Ketua Umum AILA Indonesia Rita Hendrawaty S. S.Pt., M.Si. mengatakan bahwa RUU TPKS dinilai tidak komprehensif karena hanya mengatur kekerasan seksual, tapi tidak melindungi masyarakat dari kebebasan seksual dan penyimpangan seksual (LGBT) berbasis consent yang mengancam ketahanan keluarga Indonesia.
“AILA Indonesia menolak perspektif feminisme yang digunakan dalam Naskah Akademik (NA) RUU TPKS yang tidak sesuai dengan Pancasila dan mengabaikan akar masalah penyebab terjadinya kasus kekerasan seksual,” kata Rita dalam rilis yang diterima ChanelMuslim.com, Jumat (10/12).
Lebih lanjut, menurut AILA, RUU TPKS masih menyiratkan Paradigma Sexual Concent, padahal Sexual Concent tanpa dibatasi oleh norma hukum yang melarang seks bebas dan penyimpangan seksual justru akan menyuburkan kekerasan pada anak-anak, remaja, dan kelompok rentan lainnya.
“Meski RUU TPKS menjadikan asas iman dan taqwa sebagai salah satu asas, tetapi asas tersebut seolah hanya menjadi aksesoris atau pelengkap semata,” tambah Rita.
Pasalnya, RUU TPKS justru mengabaikan tindakan yang terkategorikan sebagai kejahatan seksual seperti seks bebas dan perilaku seks menyimpang lainnya yang tertolak oleh semua agama.
“Perilaku tersebut mempunyai daya rusak yang tidak hanya merugikan masyarakat secara umum, tetapi juga korban secara khusus, dan bahkan individu pelaku kejahatan seksual itu sendiri,” jelas Rita.
AILA Indonesia sangat menyayangkan adanya resistensi di DPR RI terhadap upaya perlindungan masyarakat Indonesia dari perilaku seks bebas dan LGBT sebagaimana yang diusulkan oleh beberapa Anggota Legislatif untuk dimasukkan dalam draft RUU TPKS.
“RUU TPKS berpotensi mengadopsi kurikulum Comprehensive Sexuality Education (CSE) yang mengajarkan pendidikan seksual berbasis kebebasan dan penerimaan terhadap normalisasi LGBT, dengan dalih pencegahan kekerasan seksual,” ungkapnya.
Baca Juga: Pembelaan terhadap Korban Perkosaan Bukan Celah untuk Kebebasan Seksual
Catatan AILA terhadap RUU TPKS
Selain itu, RUU TPKS seolah-olah hanya membatasi pada perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) saja, padahal tidak semua perspektif HAM sejalan dengan Pancasila, terutama pada isu seksualitas kebebasan seksualitas.
“Oleh karena itu, perspektif HAM harus disandingkan dengan perspektif moral dan agama agar menyiratkan nuansa HAM partikular,” tambahnya.
Kekosongan hukum atas tindak pidana kejahatan seksual atau kejahatan kesusilaan harus segera diisi, dan idealnya hal itu perlu diakomodasi dalam RUU TPKS, tak terkecuali dalam RUU KUHP.
“Hal ini agar terjadi sinkronisasi dan harmonisasi antara undang-undang. Terlebih Mahkamah Konstitusi telah mengamanatkan perbaikan pengaturan ikhwal kejahatan seksual dan/atau kesusilaan kepada pembentuk undang-undang, baik Pemerintah dan DPR sebagaimana yang tertuang dalam Putusan Nomor 46/PUU-XIV/2016, mengenai Pengujian Pasal 284, 285 dan 292 KUHP,” tandasnya.
Oleh karena itu, Rita mengatakan, seharusnya RUU TPKS perlu di-review kembali dan melakukan sinkronisasi dengan RUU KUHP agar kekosongan ini dapat terjawab untuk mencegah, bukan hanya kekerasan seksual, namun juga kebebasan seksual dan penyimpangan seksual.
AILA Indonesia mengimbau, jangan sampai atas nama pencegahan kekerasan seksual, pembentukan undang-undang mengabaikan masukan dan “penolakan” dari berbagai pihak terkait terkait draft RUU TPKS di tingkat Badan Legislatif.
“Padahal masukan dan penolakan tersebut justru merupakan cerminan sekaligus itikad baik untuk mendorong lahirnya undang-undang yang mengakomodasi seluruh kepentingan bangsa Indonesia,” tutup Rita.[ind]