oleh: Muhammad Iqbal (Dekan F.Psi UMB, Counseling Psychologist)
ChanelMuslim.com – Dalam beberapa hari ini tanah air digemparkan dengan kejadian peristiwa pembunuhan tragis anak usia 5 tahun yang ternyata didapati pelakunya adalah seorang remaja putri berusia 15 tahun. Pelaku mengaku kepada polisi bahwa ia membunuh karena terinpirasi oleh film horor yang selalu ia tonton di Internet.
Kasus anak yang melakukan penyimpangan perilaku bahkan berbuat kejahatan bukan yang pertama saya dengar, kami di Rumah Konseling sudah banyak menangani kasus-kasus kejahatan yang dilakukan oleh anak dan remaja karena terinspirasi dari tontonan dan internet.
Ada juga kasus di mana seorang remaja yang berkenalan dengan pria dewasa di sosial media, lalu dibujuk rayu dan akhirnya diperkosa. remaja tersebut mengatakan bahwa ayahnya selalu marah kepadanya akhirnya dia tergoda oleh bujuk rayu pelaku yang selalu memuji dan mengapresasinya di sosial media.
Seorang pemilik sekolah boarding school bercerita ke saya bahwa beberapa waktu lalu mobil operasional sekolah mereka hilang, lalu dilaporkan ke polisi dan akhirnya pelaku tertangkap, dan ternyata pelaku adalah siswa SMA sekolah tersebut dan pelaku mengaku mencuri mobil tersebut karena terinspirasi dari game online “GTA” yang selalu ia mainkan di saat libur atau bolos dari sekolah.
Kasus lainnya, seorang remaja putri lulusan PTN Sarjana Sastra Jepang dibawa orang tuanya ke saya, orang tua memberitahu bahwa anaknya ingin bunuh diri. Setelah saya lakukan konseling didapati bahwa anak ini sejak kuliah mengalami adiksi film. Film yang dia tonton adalah film drama Jepang dan Korea, dan dari sana dia terinspirasi untuk bunuh diri karena merasa dirinya gagal dalam karier karena sudah mencoba melamar pekerjaan namun belum juga dapat. Inspirasi bunuh diri didapat dari film.
Tahun 2019 ada kasus pemerkosaan oleh anak 14 tahun terhadap anak 15 tahun di daerah Jabodetabek. Yang mengejutkan, penyidiknya menyampaikan ke saya bahwa di HP/gadget pelaku didapati 300 video porno, dan diduga pelaku yang dikenalnya via sosial media melakukan kejahatan seksual tersebut karena kecanduan video porno, karena orang yang mengalami adiksi pornografi mengalami kerusakan otak sehingga tidak memiliki rasa malu (Hilton,2011)
Kasus kekerasan seksual yang terjadi sangat erat dengan pengaruh tontonan. Ada kasus yang kami tangani di mana seorang abang yg masih siswa SMP yang mencabuli adik perempuannya yan masih TK, ternyata hampir setiap hari anak ini bermain game dan internet di warnet dekat rumahnya dan mengakses video porno. Ada juga kasus yang kami tangani, anak SD mencoba mensodomi anak TK, pelaku mengaku terinspirasi dari video porno yang dia tonton dari gadget.
Ada juga seorang ibu yang membawa anaknya usia 23 tahun. Kuliah di salah satu PTS di Bandung, anak tersebut ngekos di sana. Dia mengaku akan diwisuda dalam waktu dekat setelah 5 tahun menjalani kuliah. Namun ibunya curiga karena jarang melihat anaknya memegang buku. Akhirnya ayahnya dari Jakarta datang ke Bandung mengecek ke kampusnya, ternyata dia hanya kuliah 1 semester dan 4,5 tahun berbohong. Akhirnya dia mengaku bahwa dia berbohong dan hanya kuliah 1 semester. Lalu saya tanya setiap hari apa yang dia lakukan? Dia menjawab bahwa setiap hari dia menghabiskan waktu 12 jam bermain game online sehingga ia tidak peduli lagi dengan masa depannya, bahkan Ayah dan Ibunya yang melarangnya bermain game dipukul.
Teman saya seorang aparat penegak hukum juga mengatakan bahwa kasus-kasus begal juga didapati erat kaitannya dengan game online, karena mereka sehari-hari berkumpul di warnet bermain game online yang mengandung kekerasan. Lalu ketika kehabisan uang, mereka terinspirasi untuk melakukan begal agar bisa bermain game.
Sebenarnya, masih ada banyak lagi kasus yang terjadi akibat pengaruh dari tontonan yang diperoleh dari internet.
Jika demikian, kenapa kebanyakan mereka tetap bermain gadget atau berkumpul di warnet? Salah satu yang mereka sampaikan adalah keluarga yang tidak harmonis, bahkan di beberapa di antaranya, orang tua mereka bercerai, mereka sedih, marah, malu dan internet menjadi sarana hiburan bagi mereka, dan orang tua tidak peduli dengan apa yang ditonton oleh anaknya.
Fenomena kasus-kasus ini adalah gambaran dari gunung es di Indonesia, yang terus akan menjadi bom waktu jika kita kurang mengantisipasi dampak negatif gadget/internet terhadap anak dan keutuhan keluarga.
Ditambah lagi dengan angka perceraian yang terus meningkat, keluarga yang tidak harmonis, menunjukkan bahwa ketahanan keluarga kita sangat lemah. Ketika “serangan” gadget dan internet menyerang anggota keluarga, tidak banyak keluarga yang mampu bertahan. Bahkan beberapa kasus juga didapati orang tua yang mengalami adiksi gadget sehingga kurang peduli dengan lingkungan termasuk anaknya.
Ayah sebagai pemimpin dalam keluarga juga menjadi masalah utama, karena lemahnya pengetahuan dan pengaruh dalam mendidik sehingga anak lebih sering berkomunikasi dengan orang lain di sosial media berbanding dengan Ayahnya sehingga tidak ada kedekatan.
Sudah saatnya juga pemerintah membuat kebijakan untuk mencegah terjadinya dampak negatif bagi anak dan remaja serta keluarga dengan membuat aturan dan program-program ketahanan keluarga.
RUU Ketahanan Keluarga yang saat ini dibahas di DPR dan masuk dalam Prolegnas menjadi harapan agar bangsa Indonesia memiliki keluarga yang tangguh dan harmonis sehingga kasus-kasus yang terjadi akibat pengaruh gadget/internet dapat dicegah.[ind]