Chanemuslim.com- Lembaga pengawasan publik di Indonesia harus diperkuat, antara lain dengan proses seleksi transparan dan ketat. Hal itu terungkap dalam diskusi buku “Hisbah: Institusi Pengawasan Publik”, terjemahan karya Ibnu Taimiyah, di gedung MITI Center, Depok (11/6).
Acara yang digelar Hisbah Center for Reform itu menghadirkan pembicara Almuzammil Yusuf (Wakil Ketua Komisi II DPR RI) dan Abdullah Hehamahua (mantan Penasehat KPK RI). Dihadiri kalangan akademisi, wirausaha, aktivis dan jurnalis.
Lembaga pengawas seperti Ombudsman Republik Indonesia memegang peran penting. “DPR pernah studi banding Ombudsman di Swedia, ternyata mereka belajar dari sistem Hisbah di era Turki Utsmani,” ungkap Muzammil. “Ombudsman Swedia dipimpin tokoh senior yang sudah selesai dengan ambisi politik dan ekonomi. Mereka fokus untuk memperbaiki negara.” Selain Ombudsman, ada Badan Pengawas Pemilu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Penyiaran Indonesia, dan lain-lain.
Indonesia masih langka tokoh seperti itu. Abdullah Hehamahua sependapat, standar moral yang tinggi harus dimiliki oleh sosok pengawas publik, sebagaimana juga aparat penegak hukum.
“Moralitas itu bersumber dari ideologi atau aqidah yang dipegang. Khalifah Umar bin Abdul Aziz hanya 1,5 tahun memimpin, tapi tak seorang warga pun mau diberi zakat. Mereka sudah merasa tercukupi kebutuhan pokoknya, terjamin pemerintah,” ujar Abdullah. Sampai diibaratkan kondisi aman saat hingga seekor serigala pun tak menerkam domba karena kelaparan.
Pemimpin yang berintegritas sangat penting, selain sistem yang baik dan wewenang jelas. “Jika wewenang yang kuat seperti KPK atau Polri dipegang orang yang lemah, maka penegakan hukum tak jalan. Masyarakat jadi ragu. Solusinya, sistem diperbaiki, terutama rekrutmen pejabat,” jelas Abdullah.
Pengamat kebijakan publik, Sapto Waluyo, prihatin dengan lemahnya kepemimpinan di lembaga pengawas seperti terlihat dalam gejolak KPI. Komisi yang mengawasi lembaga penyiaran televisi dan radio itu membentuk Dewan Kehormatan untuk memeriksa Komisioner yang diduga melanggar tata tertib dan partisan partai.
“Menyedihkan, KPI membentuk DK di akhir masa tugasnya berdasarkan laporan LSM fiktif. Sementara tugas KPI untuk mengevaluasi lembaga televisi yang akan memperpanjang izin siaran, tak optimal,” ujar Sapto. Anggota DK KPI terdiri dari Komisi I DPR dan tokoh masyarakat. Sangat mubazir jika menangani kasus tak substansial, sedang proses seleksi Komisioner KPI periode baru memasuki tahap akhir. (Mh/HCR/foto: dakwatuna)