ChanelMuslim.com – Dua pertanyaan yang semestinya diajukan kepada diri kita sebelum mengerjakan suatu amal, yaitu: (1) untuk siapa dan (2) bagaimana caranya dijelaskan oleh Ustaz Ari Wahyudi, S.Si.
Pertanyaan pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasan. Adapun pertanyaan kedua adalah pertanyaan tentang komitmen untuk mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebab amal tidak akan diterima jika tidak memenuhi kedua-duanya. Allah Ta’ala berfirman,
فَوَرَبِّكَ لَنَسۡـَٔلَنَّهُمۡ أَجۡمَعِینَعَ
مَّا كَانُوا۟ یَعۡمَلُونَ
“Demi Rabbmu, sungguh Kami akan menanyai mereka semuanya tentang apa saja yang mereka amalkan.” (QS. al-Hijr: 92-93).
Allah Ta’ala juga berfirman,
فَلَنَسۡـَٔلَنَّ ٱلَّذِینَ أُرۡسِلَ إِلَیۡهِمۡ وَلَنَسۡـَٔلَنَّ ٱلۡمُرۡسَلِینَ
فَلَنَقُصَّنَّ عَلَیۡهِم بِعِلۡمࣲۖ وَمَا كُنَّا غَاۤىِٕبِینَ
“Maka benar-benar Kami akan menanyai orang-orang yang rasul itu diutus kepada mereka dan Kami juga pasti akan menanyai para utusan itu.
Maka akan Kami kisahkan kepada mereka dengan penuh pengetahuan dan tidaklah Kami tidak menyaksikan -apa yang telah mereka lakukan-.” (QS. al-A’raaf: 6-7) (Lihat al-Ighatsah, hlm. 113).
Allah Ta’ala juga berfirman,
لِّیَسۡـَٔلَ ٱلصَّـٰدِقِینَ عَن صِدۡقِهِمۡۚ وَأَعَدَّ لِلۡكَـٰفِرِینَ عَذَابًا أَلِیمࣰا
“Supaya Allah menanyai orang-orang yang jujur itu mengenai kejujuran mereka.” (QS. al-Ahzab: 8).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kalau orang-orang yang jujur saja ditanyai dan dihisab mengenai kejujuran mereka, maka bagaimanakah lagi dengan para pendusta?”
Yang dimaksud dengan orang jujur dalam ayat itu adalah para rasul dan orang-orang yang menyampaikan ajaran rasul itu kepada kaumnya, apakah mereka telah menyampaikan dengan sebagaimana mestinya.
Kemudian Allah juga akan menanyai masyarakat yang menjadi sasaran dakwah para rasul itu. Allah Ta’ala berfirman,
وَیَوۡمَ یُنَادِیهِمۡ فَیَقُولُ مَاذَاۤ أَجَبۡتُمُ ٱلۡمُرۡسَلِینَ
“Dan pada hari itu Allah memanggil mereka dan berkata, ‘Apa yang sudah kalian penuhi dari ajakan para rasul itu?’” (QS. al-Qashash: 65) (Lihat al-Ighatsah, hlm. 113).
Nikmat yang telah Allah curahkan kepada kita -yang jumlahnya sedemikian banyak dan kita tidak bisa menghingganya-, itu pun akan ditanyakan, apakah kita sudah mensyukurinya dengan baik di jalan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ لَتُسۡـَٔلُنَّ یَوۡمَىِٕذٍ عَنِ ٱلنَّعِیمِ
“Kemudian kalian benar-benar akan ditanyai mengenai nikmat yang telah diberikan itu.” (QS. at-Takatsur: 8)
Baca Juga: Kiat Agar Tidak Diganggu Setan, Lakukanlah Amalan-Amalan Ini (Bagian 11)
Ajukan Dua Pertanyaan Ini Sebelum Kamu Mengerjakan Suatu Amalan
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah meriwayatkan bahwa Qatadah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah akan menanyai setiap hamba tentang nikmat dan kewajiban dari-Nya yang dititipkan kepada dirinya.” (Lihat al-Ighatsah, hlm. 114).
Pendengaran, penglihatan, dan hati itu pun akan dimintai pertanggungjawabannya dari kita. Laporan pertanggungjawaban manakah yang lebih berat daripada laporan mengenai urusan pendengaran, penglihatan, dan gerak-gerik hati?
Laporan manakah yang lebih berat daripada laporan yang ditujukan kepada Rabb semesta alam Yang di tangan-Nya segala urusan Yang menguasai pada hari pembalasan Yang tidak tersembunyi darinya satu perkara pun?
Aduhai, betapa malangnya nasib kita jika dosa-dosa kita tidak diampuni oleh-Nya … Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡـُٔولࣰا
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, itu semua pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. al-Israa’: 36)
Apabila demikian kenyataannya, lalu sekarang apa yang membuat kita enggan bermuhasabah? Muhasabah adalah sebuah kewajiban.
Allah Ta’ala berfirman,
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسࣱ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدࣲۖ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang sudah dipersiapkan olehnya untuk hari esok/negeri akhirat.” (QS. al-Hasyr: 18)
Allah Ta’ala mengingatkan kita bahwa semestinya setiap kita melihat amal apa yang telah disiapkan olehnya untuk menghadapi hari kiamat kelak, apakah amal salih yang menyelamatkan dirinya ataukah justru keburukan/dosa-dosa yang akan mencelakakan dirinya.
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah meriwayatkan, bahwa Qatadah rahimahullah berkata,
“Rabb kalian senantiasa mengesankan dekatnya hari kiamat sampai-sampai Allah menjadikannya seperti seolah-olah ia akan terjadi besok.”
Ini semua menunjukkan kepada kita bahwa baiknya hati akan terwujud dengan senantiasa mengintrospeksi diri, dan rusaknya hati akan terjadi tatkala kita lalai untuk mengawasi gerak-geriknya dan membiarkannya berjalan begitu saja mengikuti keinginan-keinginannya. (Lihat al-Ighatsah, hlm. 114)
Maka sekarang, kita bisa bertanya kepada diri kita, apakah kita sudah bermuhasabah mengenai kewajiban-kewajiban kita -karena amal yang wajib itu adalah amal yang paling utama-?
Dan apabila ternyata muhasabah itu pun termasuk perkara yang wajib dilakukan, maka pertanyaan berikutnya, sudahkah kita bermuhasabah mengenai muhasabah diri kita?
Sudahkah kita bermuhasabah? Jangan sampai kita menjadi seperti orang yang disindir dalam sebuah ungkapan, “Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak.”
Coba, bandingkan diri kita dengan para salafus shalih, betapa jauhnya antara sikap kita dengan sikap mereka?
Ibnu Abid Dunya meriwayatkan, bahwa Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah berkata, “Apabila diceritakan tentang orang-orang salih, maka aku merasa bukan termasuk golongan mereka.”
Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata ketika berdoa di Arafah, “Ya Allah, janganlah Engkau tolak doa orang-orang gara-gara diriku.” (Lihat al-Ighatsah, hlm. 115)
Ya Allah, bersihkanlah hati-hati kami.[ind]
Sumber: Muslim.or.id