Namun bisa jadi karena ilmunya yang belum benar. Atau jangan-jangan, kita menganggap bahwa dengan sekedar ijab-qabul itu sudah selesai urusan. Perumpamaannya begini.
Ada orang yang ingin sehat. Lalu disarankan mengonsumsi buah. Nah, karena dia tidak terlalu senang dengan buah. Si orang ini mengonsumsinya dengan cara diblender jadi jus.
Baca juga: Kota Menunggu Shalat
Tapi… setiap bikin jus, ia tambahkan 3-4 sendok gula, agar rasanya sesuai dengan yang ia kehendaki. Manis dan enak (menurut dia). Alhasil, setelah sekian lama. Bukannya sehat, malah diabetes. Terus bilang… ternyata minum buah nggak jaminan sehat.
Nah, kira-kira begitulah pernikahan kebanyakan orang saat ini. Ia menambahkan sesuatu yang tidak penting dalam pernikahan, namun justru lebih sering mengabaikan banyak hal yang penting dalam syariat pernikahan.
Obrolannya isinya. Liburan ke mana? Beli apa lagi? Besok anak-anak kuliah di mana? Besok kita ambil rumah di cluster apa?
Padahal obrolan suami istri dalam pernikahan seharusnya bukan hanya tentang itu. Tapi membicarakan kebaikan yang besar. Seperti doanya untuk orang menikah.
“Barakallahu laka wa baraka alaika wa jama’a bainakuma fi khair.” Semoga Allah memberikan keberkahan kepadamu serta keberkahan atasmu dan semoga Allah mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.
Maka pernikahan seharusnya adalah wasilah untuk berkumpul dalam kebaikan. Dan kata khair dalam bahasa Arab, itu pasti selalu mengacu pada kebaikan yang meliputi dunia dan akhirat. Holistik. Kaffah. Menyeluruh.
Tidak hanya urusan dunia saja. Tapi urusan akhirat. Maka obrolan suami istri yang benar tuh gini.
“Kita nyumbang masjid mana lagi ya, Mah?”
“Kita nambah anak asuh berapa lagi ya, Bi?”
Baca selengkapnya di oase ChanelMuslim.com