Ketika azan shalat berkumandang, hampir semua aktivitas terhenti. Toko-toko langsung tutup, para pegawai seketika berhenti kerja, dan semua bergegas memenuhi panggilan shalat. Hayya ala shalah.
Di sekitar Masjidil Haram lebih menggetarkan lagi kondisinya. Jika kita terlambat masuk mesjid sejam sebelumnya. Apalagi di waktu subuh, maghrib dan isya niscaya kita tidak bisa masuk mesjid suci tersebut.
Jalan-jalan menuju mesjid tersebut sudah ditutup, saking penuhnya jama’ah yang berada di dalamnya. Akhirnya, kita shalat di jalan-jalan, di mall-mall dan di pelataran sekitar Masjidil Haram.
Baca juga: Surat untuk Employee of Allah
Kota Mekkah al Mukarramah benar-benar kota menunggu shalat. Waktu di sana disesuaikan dengan waktu shalat. Setelah shalat selesai, mereka bergegas kembali pada aktivitas semula.
“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10)
Saya yang biasanya di Jakarta memakai ritme waktu berdasarkan jam dan jadwal harus benar-benar beradaptasi dengan kebiasaan masyarakat Mekkah yang ritme waktunya berdasarkan waktu shalat fardhu.
Teringat jadinya sabba Nabi saw: “Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya dan shalat Shubuh. Seandainya mereka tahu keutamaan yang ada dalam kedua shalat tersebut tentu mereka akan mendatanginya walau dengan merangkak. Sungguh aku bertekad untuk menyuruh orang melaksanakan shalat. Lalu shalat ditegakkan dan aku suruh ada yang mengimami orang-orang kala itu. Aku sendiri akan pergi bersama beberapa orang untuk membawa seikat kayu untuk membakar rumah orang yang tidak menghadiri shalat Jama’ah.” (HR. Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651, dari Abu Hurairah)
Subhanallah… betapa Nabi saw ingin sekali agar kita umatnya mengubah manajemen waktu harian berdasarkan waktu shalat, bukan berdasarkan jadwal waktu sekuler yang cenderung mengabaikan waktu shalat.
Baca selengkapnya di oase ChanelMuslim.com