ChanelMuslim.com – Pernikahan dalam perspektif psikologi adalah kebutuhan dasar manusia. Di dalam pernikahan terkandung pemenuhan sandang, papan, pangan, seksual, cinta dan kasih sayang. Bila kebutuhan dasar terpenuhi manusia akan mencapai hidup yang bermakna dan ia akan lebih mudah memenuhi kebutuhan tambahan lainnya.
Dalam buku Psikologi Pernikahan karya Muhammad Iqbal, Ph.d. seseorang yang melalui kehidupan harmonis dalam pernikahan mengaku bahwa hidupnya lebih tentram, teratur, dan bahagia sejak menikah.
Perjuangannya mencari nafkah menjadi sangat berharga sehingga ia bersemangat dalam bekerja. Padahal, saat sendiri ia selalu merasa kesepian, dan uang yang ia peroleh tidak pernah jelas dihabiskan untuk apa karena selalu dipakai untuk berfoya-foya.
Baca Juga: Seluk Beluk Pernikahan Antar Budaya
Pernikahan dalam Perspektif Psikologi
Sebelum menikah, hatinya juga selalu gelisah dan cemas menghadapi masa depan. Setelah menikah dan memiliki anak, hidupnya menjadi lebih bermakna dan bahagia karena bertabur cinta dan kasih sayang.
Menurut Ahli Psikologi Perkembangan, Hurlock (1980), pernikahan merupakan periode individu belajar hidup bersama sebagai suami istri membentuk suatu keluarga, membesarkan anak-anak dan mengelola sebuah rumah tangga.
Jika tugas ini dapat diselesaikan dengan baik, masih menurut Hurlock, maka akan membawa kebahagian bagi individu tersebut. Akan tetapi tugas tersebut tidaklah mudah untuk dilalui pasangan suami istri karena banyak hal yang harus dihadapi setelah menikah. Antara lain, pengelolaan keuangan rumah tangga, membina komunikasi yang baik keluarga, mendidik anak dan lain-lain.
Maka bukanlah hal yang aneh jika dalam pernikahan akan bertemu dengan permasalahan. Karena pernikahan sendiri bermakna menyatukan dua orang yang berbeda secara fisik dan psikologis. Masing-masing memiliki keunikan tersendiri yang perlu melalui proses adaptasi dan saling memahami.
Belum lagi latar belakang keluarga, sosial, budaya, pendidikan, pola asuh dan lainnya tak jarang memicu konflik jika masing-masing tidak mau saling belajar memahami untuk hidup bersama. Hal ini harus dipahami secara bijaksana, bahwa tiap individu memiliki kekurangan.
Pernikahan dalam hal ini ibarat bangunan. Jika bangunan tersebut dibangun dengan perencanaan yang baik dan matang, bangunan tersebut akan kuat dan kokoh. Oleh karena itu sebelum membangun sebuah bangunan diperlukan fondasi yang kuat.
Dalam pernikahan, fondasi tersebut adalah agama, niat, dan keikhlasan menerima pasangan dengan segala kelebihan dan kelemahannya. [Ln]