SYAHIDNYA Thufail bin Amru. Sebelum syahid, Thufail bin Amru ikut dalam pembebasan kota Mekah. Ia ikut memasuki kota Mekah bersama 10 ribu kaum muslimin yang lain, tanpa merasa sombong dan besar kepala.
Namun, dia justru menundukkan kepala dengan khusyu’ dan rasa hormat sebagai ucapan syukur kepada Allah yang telah memberikan pembebasan kota Mekah dan kemenangan besar.
Baca Juga: Maksiat Menghalangi Pahala Mati Syahid
Syahidnya Thufail bin Amru
Thufail melihat Rasulullah sedang menghancurkan berhala-berhala di Ka’bah. Dengan tangannya sendiri, beliau membersihkan kotoran yang telah berakar itu.
Thufail teringat sebuah patung milik Amru bin Humamah.
Dulu, setiap kali ia berkunjung ke Mekah, Amru selalu mengajaknya duduk khusyu’ menyembah patung itu.
Sekaranglah saatnya bagi Thufail untuk membersihkan dosa-dosa masa lalunya. la mendekati Rasulullah, meminta izin kepada beliau untuk membakar patung milik Amru bin Humamah, yang biasa disebut “Dzul Kaffain” (yang memiliki dua telapak tangan).
Rasulullah mengizinkan. Thufail mulai membakarnya. Setiap kali api itu mengecil, ia menambahnya lagi sambil bersenandung, ”
Wahai Dzul Kaffain,
aku bukan penyembahmu
kamu lahir setelahku
kini kusiramkan api di perutmu”
la melanjutkan perjalanan hidupnya bersama Rasulullah. Shalat di belakang beliau, belajar darinya dan berperang bersamanya.
Ketika Rasulullah wafat, Thufail melihat bahwa tanggung jawabnya sebagai muslim tidak berhenti dengan wafatnya beliau, bahkan bisa dikatakan baru dimulai.
Ketika pertempuran melawan orang-orang murtad berkobar, Thufail menyingsingkan lengan bajunya, terjun mengalami pahit getirnya hal itu dengan semangat baja, mengharapkan syahid.
Pertempuran demi pertempuran dalam perang melawan orang-orang murtad, terus ia ikuti.
Pada pertempuran Yamamah, ia berangkat bersama kaum muslimin dengan menyertakan putranya, Amru bin Thufail.
Sejak awal pertempuran, ia telah berpesan kepada putranya agar berperang dengan gagah berani mengharapkan kesyahidan dalam menghadapi tentara Musailamah al-kadzdzab. la juga memberitahu putranya bahwa ia merasa akan gugur di pertempuran ini.
la hunuskan pedangnya, lalu berperang dengan gagah berani. la sama sekali tidak menggunakan pedangnya untuk melindungi nyawanya.
Namun, ia menjadikan nyawanya untuk melindungi pedangnya, sehingga jika ia gugur kelak, pedangnya tetap utuh dan bisa dipergunakan oleh rekan-rekannya.
Dalam pertempuran itu, Thufail ad-Dausi gugur sebagai syahid. la roboh oleh sabetan pedang. la sempat melambai kepada anaknya yang samar-samar dilihatnya, seakan mengajaknya turut serta.
Dan ternyata, sang putra benar-benar mengikuti jejak langkahnya.
Tetapi, di pertempuran yang lain. Tepatnya di Perang Yarmuk, di Syam. Amru bin Thufail ikut dalam rombongan pasukan.
Di sana ia gugur sebagai syahid. Saat mengembuskan napasnya yang terakhir, ia menjulurkan tangan kanannya dan membuka telapak tangannya, seakan sedang berjabat tangan.
Siapa yang tahu?!
Bisa jadi, saat itu, ia sedang berjabat tangan dengan ruh ayahnya. [Cms]
Sumber : Biografi 60 Sahabat Nabi, Penerbit Al Itihsom