ChanelMuslim.com- Tanggal 15 Agustus kemarin menjadi momen bersejarah buat Afghanistan. Kelompok Thaliban berhasil menguasai seluruh wilayah termasuk Kabul. Pemerintahan yang dipimpin Ashraf Ghani pun keluar dari istana kepresidenan.
Ada apa dengan Afghanistan sesungguhnya? Kenapa Amerika seolah “mempersilahkan” Thaliban menguasai negeri berpenduduk 33 juta itu secara mutlak. Bukankah selama ini, Amerika selalu menjadi “centeng” pemerintahan boneka di sana.
Kemenangan kaum santri yang biasa disebut Thaliban ini bisa dibilang sebagai yang terbesar sejak konflik Afghanistan dengan Uni Sovyet di tahun 80-an. Kemudian konflik pun berpindah dari Thaliban dengan pemerintahan bentukan Amerika.
Kenapa Amerika seolah berdamai dengan Thaliban? Hal ini tentu memiliki kalkulasi strategis kepentingan Amerika dan Barat di wilayah Asia tengah itu. Dan Afghanistan memegang peran kunci di wilayah itu.
Secara geografis, negeri berpenduduk 97 persen muslim itu hampir berbatasan dengan dua negara besar yang kini menjadi fokus ketegangan Amerika dan Barat: China dan Rusia. Afghanistan dinilai akan menjadi magnit kuat bagi negara-negara eks Uni Sovyet untuk menentukan keberpihakannya.
Inilah mungkin di antara jawaban dari misteri kenapa Joe Biden mengubah politik luar negeri Amerika terhadap negeri-negeri muslim. Biden yang pernah mengutip hadits Nabi dalam salah satu kampanyenya benar-benar memiliki tujuan jangka panjang. Yaitu, mengambil hati umat Islam dunia untuk tujuan ini.
Posisi itu dinilai cukup akurat demi membendung kekuatan pengaruh Cina dan Rusia di dunia. Meskipun dua negara itu belakangan terakhir berusaha untuk juga mendekati negeri-negeri muslim. Tapi, Amerika melalui pemerintahan Biden jauh lebih tepat sasaran.
Tidak heran jika latihan perang besar-besaran antara Indonesia dengan Amerika baru-baru ini sama sekali tidak memunculkan pro kontra dari rakyat Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam sepertinya lebih memilih berpihak ke Amerika daripada ke Cina. Meskipun, negeri tirai bambu itu sudah menggelontorkan begitu banyak pinjaman.
Hal ini karena pendekatan Cina masih sebatas terhadap kelompok elit dan pengambil kebijakan. Tapi, tidak begitu terhadap rakyatnya.
Latihan perang serupa juga dilakukan Amerika di negara-negara lain yang “nyaris” dikuasai Cina. Yaitu, dengan negara-negara Afrika. Hingga kini, latihan yang melibatkan ribuan personil tempur itu masih berlangsung.
Tiga pekan belakangan ini bisa dibilang sebagai upaya Amerika dan Barat untuk menguasai wilayah-wilayah yang akan mengepung Cina. Di saat yang bersamaan, Cina dan Rusia pun melakukan hal yang sama.
Thaliban melalui media yang dikuasai Barat pernah distigmakan sebagai kekuatan radikal dan terorisme kelompok Islam. Tapi kini, justru hal itu seperti berubah seratus delapan puluh derajat.
Akankah ketegangan yang mendunia ini akan berujung pada perang terbuka? Sepertinya Amerika sangat siap mengambil risiko itu. Karena hegemoni merupakan satu-satunya modal Amerika yang tersisa di banding kekuatan Cina yang kini membayanginya. [Mh]