ChanelMuslim.com- Angka dua itu sepertinya sakral. Kalau lebih, tidak stabil. Berkurang pun bisa bikin suasana labil.
Semua pasangan suami istri tentu ingin bersama selamanya. Suka dan duka. Sedih atau pun bahagia. Tapi, jalan hidup itu kadang bukan pilihan. Mau tidak mau, suami atau istri harus “pergi” duluan.
Saat itu juga, ada ketidakseimbangan muncul. Siapa pun yang “pergi” duluan, istri atau suami. Sejumlah kegamangan pun mondar-mandir. Tetap menjadi orang tua tunggal, atau membuka datangnya sosok baru untuk menjadi dua lagi.
Yang jelas, menimbang antara dua pilihan itu bukan perkara mudah. Butuh ketenangan dan kehati-hatian agar pilihan yang diambil menjadi solusi, bukan masalah baru.
Mengukur Kesiapan Anak
Anak-anak merupakan aset yang paling mahal dalam keluarga. Rumah dan aset lain bisa menjadi bekas. Suami atau istri juga bisa menjadi bekas jika bercerai. Tapi anak tidak ada bekasnya.
Karena itu, mengukur kesiapan anak-anak jika ingin menerima pasangan baru merupakan hal yang bijak. Baik suami yang ditinggal istri, atau sebaliknya.
Mungkin, kalkulasinya bukan pada siapa ditinggal siapa. Tapi, bagaimana kematangan anak-anak jika ada sosok baru yang menjadi bagian dari keluarga. Dan itu bisa sebagai ayah atau ibu baru.
Hal ini penting agar anak-anak tidak merasa kecewa dua kali. Kecewa karena ayah atau ibunya pergi untuk selamanya. Dan kecewa karena mereka merasa belum siap untuk menerima yang baru.
Ada juga pertimbangan lain. Menerima datangnya pasangan baru berarti pula menerima apa yang besertanya. Yaitu, anak-anak dari pasangan baru itu. Kecuali jika yang baru itu tidak mempunyai anak.
Jika terjadi penyatuan dua rombongan ini, kesiapan anak-anak boleh jadi lebih dimatangkan lagi. Karena menambah jumlah objek perhatian, berarti mengurangi porsinya. Jangan sampai ada anak yang merasa tak lagi diperhatikan orang tuanya.
Dari sekian usia anak-anak, boleh jadi, usia remaja merupakan sosok yang paling sensitif. Anak-anak di usia ini masih dalam proses pengukuhan jati dirinya.
Remaja, umumnya masih dalam pengukuhan siapa dirinya, siapa ayah ibunya, dan seperti apa sosok keluarganya. Jika ada perubahan sosok yang signifikan seperti ayah atau ibu yang wafat, goncangannya lebih terasa daripada anak-anak di usia lain.
Begitu pun dengan datangnya sosok baru yang sangat asing baginya. Tidak mudah buat anak di usia ini untuk melakukan adaptasi yang cepat. Lain halnya jika sosok baru itu adalah sosok lama yang berganti peran. Seperti Om atau Tante yang berubah menjadi ayah atau ibu. Atau sosok dekat lainnya.
Berbeda dengan anak-anak yang masih balita. Mereka belum begitu kuat mengingat sosok ayah ibunya karena waktu interaksi yang tergolong belum lama. Dan boleh jadi, mereka belum banyak memahami peran ayah dan ibu.
Jika terjadi pergantian sosok ayah atau ibu, selama hal itu baik-baik saja, anak-anak di usia ini pun akan merasakan hal yang biasa saja. Yang perlu ditekankan adalah mengejar ketertinggalan interaksi antara anak-anak dengan ayah atau ibu barunya.
Begitu pun jika anak-anak sudah dewasa. Mereka mulai sibuk dengan urusan masing-masing daripada ikut campur pilihan ayah atau ibu. Dengan kata lain, anak-anak di usia ini akan ringan-ringan saja. Kalau ayah atau ibu sudah cocok, mereka pun ikutan cocok. [Mh/bersambung]