ChanelMuslim.com – Aku restui anakku menikah dengan keluarga nonmuslim. Membesarkan enam orang anak dan berharap semuanya menjadi sholeh sholehah apapun profesi halal yang dijalani, tentunya adalah menjadi harapan setiap orang tua.
Banyak ustaz dan ulama memberi nasihat bahwa mendidik anak untuk menjadi sholeh tanpa orang tuanya pun mensholehkan diri adalah suatu hal yang mustahil. Namun, ada pula yang mengatakan hidayah adalah hak Allah dan anugerah yang diberikan-Nya kepada siapa yang dia kehendaki, karena itu terkadang kita dapati ada anak yang sholeh padahal kedua orang tuanya tidak mengajarkan agama dengan baik.
Entahlah mana teori yang benar, secara logika dan keimanan keduanya dapat diterima olehku. Terus menambah ilmu agama selalu kulakukan bersama suamiku. Suamiku seorang pelukis dengan darah seniman yang kental, tetapi alhamdulillah ia mengetahui apa yang tidak diperbolehkan dalam Islam mengenai menggambar sesuatu yang bernyawa.
Aku selalu mengajarkan tauhid kepada ke-6 anak-anakku. Selalu mengingatkan mereka untuk hanya menyembah dan bergantung pada Allah. Dua anakku telah menikah dan membina keluarganya bersama keluarga kecilnya. Sekarang giliran anakku yang nomor 3 anak laki-laki tertuaku. Ia mendapat pekerjaan di Bali di sebuah perusahaan konsultan. Dan inilah awal tragedi bagiku. Setelah beberapa bulan bekerja di Bali, ia bercerita tengah berkenalan dengan gadis Bali asli. Aku mulai resah, gadis Bali asli tentunya bukan seorang muslim.
Tidak lama kemudian dia bercerita lagi bahwa saat ini ia telah berpacaran dengan gadis Bali yang diceritakannya dan ia mengaku serius untuk menikahi gadis Bali itu. Rasanya runtuh duniaku saat itu. Namun, aku tetap berusaha tenang, secara tegas aku katakan pada anakku akan penolakanku jika ia menikah dengan gadis non muslim. Aku berkata di hadapannya saat ia pulang liburan, bahwa dalam Islam tidak diperbolehkan menikah dengan wanita kafir, adapun lelaki muslim diperbolehkan menikah dengan seorang wanita ahlul kitab, namun jelas gadis yang dikenal anakku bukan masuk dalam kriteria ahlul kitab. Sampai kapanpun kutegaskan aku tidak menyetujuinya karena Allah. Entah jika Allah berkehendak memberi hidayah dan wanita itu menjadi muslim.
Setelah itu lama ia tak pernah bercerita tentang si gadis bali itu, namun ku tahu anakku masih menjalin hubungan dengannya. Anakku tahu mengenai sikapku dan ia tahu tak dapat membujukku soal restu untuk menikahi gadis pilihannya yang ini. Sekian lama ia menjalin hubungan dengan gadis bali itu, hingga tiba-tiba ia pulang ke rumah dan memberi kabar yang cukup mengejutkan buatku.
“Ibu, aku ingin menikah pokoknya ibu harus melamar gadis itu untukku. Tenang saja bu, dia sudah mau menjadi mualaf, jadi tidak ada alasan ibu untuk melarangku menikahinya ya bu,” begitu anakku berkata.
Aku tak bisa membantahnya meski dalam hati masih ragu, apakah benar gadis itu mau menjadi muslim sungguh-sungguh atau hanya karena tidak mau berpisah dengan anakku. Tetapi aku berkata pada anakku; “baiklah ibu mau melamarnya untukmu, kamu siapkan saja kapan waktunya ibu harus terbang ke Bali. Tetapi kamu bilang sama keluarganya, tidak usah menyiapkan hidangan dan sambutan sesuai adat mereka, ibu tidak mau makan masakan mereka dan juga makan dari tempat makan mereka yang belum tentu sudah bersih dari makanan biasa mereka yang tidak halal untuk kita. Bilang saja untuk membeli nasi kotak di warung muslim atau tidak usah repot-repot. Ibu tidak mau mengikuti adat dan ritual mereka.”
Anakku langsung mejawab “baik Bu, Ketut sudah paham kok Bu, nanti keluarganya akan membeli makanan dari restoran muslim yang ada di depan jalan rumahnya.”
Baca Juga: Apakah Pernikahan Saya Sah Tanpa Izin Orang Tua?
Aku Restui Anakku Menikah dengan Keluarga Nonmuslim
Dua minggu dari pembicaraan tersebut, anakku telah menyiapkan tiket untukku dan suami terbang ke Bali. Pada hari yang telah ditentukan kami pergi menuju rumah gadis calon istri anakku, kami waktu itu ditemani oleh sahabat kami yang tinggal di Bali, karena waktu itu aku berpikir jika ada hal yang tidak kuinginkan aku dapat meminta tolong sahabatku ini untuk menjadi mediator, karena dia adalah orang Bali juga.
Waktu itu aku mengenakan pakaian muslimah seperti biasa dengan gamis warna cokelat dan kerudung lebar yang senada, karena terus terang pakaian yang ada di lemariku kala itu kalo tidak hitam, coklat dan warna abu-abu.
Acara perkenalan berjalan lancar, aku dan suami tidak banyak berbicara. Suami kemudian menyatakan maksud kedatangan untuk melamar anak gadis keluarga calon besan itu, dan pernikahan akan dilangsungkan dengan hukum Islam. Kami serahkan semua keputusan masalah waktu dan tempat ke keluarga perempuan.
Kemudian ada permintaan dari keluarga perempuan agar anak kami mau ikut pada acara pelepasan anaknya yaitu pergi ke pura dan memohon restu dari para leluhur karena itu adalah ritual yang harus dilakukan ketika anaknya akan menikah dengan yang berbeda agama.
Saat itu, aku hanya diam saja sebenarnya aku tidak setuju karena menurutku yang akan berpindah agama kan anaknya kenapa harus anakku mengikuti ritual mereka. Suamiku kemudian berkata, untuk menemani sampai luar Pura mungkin bisa tetapi untuk masuk ke dalam dan mengikuti ritual itu tidak diperbolehkan dalam agama kami. Keluarga gadis itu agak keberatan, tapi kemudian dapat mengerti setelah sahabatku menjelaskan.
Tidak lebih dari satu jam kami di sana, kemudian kami pamit pulang dan menunggu pemberitahuan untuk waktu dan hal-hal yang harus kami siapkan.
Satu minggu kemudian, anakku menelpon bahwa pernikahannya akan dilaksanakan dalam dua bulan ini, keluarga pihak perempuan yang akan mempersiapkan semuanya, jadi kami sekeluarga hanya perlu mempersiapkan diri dan pakaian. Meski pernikahan tinggal dua bulan tetapi karena semua diatur oleh pihak perempuan jadi tak banyak yang kulakukan, ku hanya mengingatkan anakku untuk jangan lupa membelikan tiket untuk kami 3 hari sebelum hari H serta menanyakan apa saja yang ia perlukan di sini untuk persiapan pernikahannya.
Aku tidak terlalu senang menyambut pernikahan anakku ini, tidak seperti kakak-kakaknya. Aku sedikit lega, calon istri anakku mau menjadi mualaf tapi permasalahannya sepertinya belum selesai. Aku terus berdoa dan berserah pada Yang Maha Memiliki Hidup,
“Jika memang Engkau takdirkan anakku menikah dengan keluarga yang non muslim yang tidak menyembahMu maka aku terima ya Allah, namun jika Engkau berkehendak lain, maka berikanlah jalan-Mu yang terbaik.”
Sejak anakku bercerita ia dekat dengan gadis Bali yang nonmuslim, tak pernah kulewatkan dalam doa dan tangisanku di sepertiga malam untuk memohon ketetapan yang terbaik dari Allah.
Semakin mendekati hari H, tetapi anakku nampak tidak adem ayem saja mempersiapkan pernikahannya. Satu minggu menjelang pernikahannya kuingatkan apakah sudah mem-booking tiket untuk kami, bagaimana dengan pakaiannya apakah sudah siap, ia jawab sudah tenang saja.
Akan tetapi, ada yang aneh menurutku, dia tidak lagi bercerita banyak mengenai calonnya dan berbagai persiapannya. Kemudian tiba semalam sebelum seharusnya waktu keberangkatan kami sekeluarga ke Bali, ia kemudian menelpon, namum saat itu tepat ketika azan magrib berkumandang, jadi kuminta ia untuk menelpon kembali setelah ku menunaikan shalat magrib.
Setelah selesai shalat magrib, kemudian anakku menelpon, aku langsung memburunya dengan banyak pertanyaan; “Rid bagaimana tiket untuk besok, seperti biasa ya, Ibu langsung ke bandara dan minta di sana, kamu sms nomor booking-nya malam ini saja ama Tya ya, terus baju kamu untuk akad sudah adakan? Atau Ibu bawa dari sini jasmu itu ya, terus kamu sudah booking juga wisma kan, sempit loh kalo kita numpang sama Om Welly, jadi besok pesawatnya yang jam berapa?”
Kemudian, dengan sedikit lemas anakku menjawab semua pertanyaaku; “Aku tidak jadi menikah Bu, Ketut memutuskan menunda pernikahan karena ia dipindahkan tugas ke Singapura.”
Duh rasanya saat itu aku ingin berteriak Alhamdulillah dengan sekencang-kencang, tapi aku tahan karena pasti saat itu anakku tengah patah hati dan kecewa tidak jadi menikah. Kemudian ia berkata “Ibu pasti senang ya aku tidak jadi menikah”
Aku jawab “iya jujur Ibu senang.”
“Ya sudahlah, Ibu carikan saja jodoh untukku,” katanya pendek.
Sungguh saat itu syukurku tiada terkira, Allah masih memberikan ketetapan yang baik untuk keluargaku. Belakangan baru kuketahui, bahwa gadis Bali ini mendadak galau setelah kedatangan kami saat melamar. Gadis ini kemudian meminta nasihat pada semacam orang pintar di agama mereka, dan dikatakan bahwa sebaiknya ia tidak menikah dengan anakku karena nanti setelah menikah akan pisah bantal, istilah mereka untuk pisah ranjang katanya.
Aku tersenyum mendengarnya agak lucu juga ternyata di agama lain juga masih saja ada yang percaya pada ramalan dari orang pintar semacam itu. Namun ku bersyukur ternyata jalan Allah memang selalu baik dan tak diduga.
Tidak lama setelah kejadian itu, anakku dipindahkan tugas ke Qatar dan enam bulan kemudian ia menikah dengan sahabat adiknya yang tak sengaja bertemu saat dia pulang Idul Fitri.[]