ChanelMuslim.com—Presiden Joko Widodo pada Rabu (25/5/2016) menandatangani dan mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 tentang Perlindungan Anak.
Perppu tersebut, menurut Jokowi, diharapkan dapat mengatasi kegentingan yang diakibatkan oleh meningkatnya kekerasan seksual terhadap anak. Sebab, katanya, kejahatan seksual terhadap anak itu ia nyatakan sebagai kejahatan luar biasa karena mengancam dan membahayakan jiwa si anak.
Ruang lingkup Perppu tersebut, menurut Presiden, mengatur pemberatan pidana, pidanan tambahan, dan tindakan lain bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan pencabulan dengan syarat-syarat tertentu.
Pemberatan pidana yang dimaksudkan itu adalah penambahan hukuman sepertiga dari ancaman pidana, dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. Pidana tambahan yang dimaksud berupa pengumuman identitas pelaku, tindakan berupa kebiri kimia, dan pemasangan alat deteksi elektronik.
“Kita berharap dengan hadirnya Perppu ini bisa memberikan efek jera bagi pelaku serta dapat menekan kejahatan seksual terhadap anak yang merupakan kejahatan luar biasa,” kata Jokowi.
Terbitnya Perppu tersebut mendapat sambutan dari berbagai kalangan, baik yang pro maupun kontra. Sebagian anggota DPR RI sepakat dengan Perppu tersebut. Anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi mengatakan dirinya bisa menerima adanya sanksi berat kebiri kimia dan hukuman mati yang diatur dalam Perppu. Dia meyakini sanksi berat itu akan memiliki efek jera kepada masyarakat.
Ketua Fraksi PKS DPR Jazuli Juwaini mengapresiasi Pemerintah atas terbitnya Perppu ini. Namun, dia memberikan catatan bahwa hukuman pidana saja tidak bakal menyelesaikan masalah jika melihat kejahatan seksual semata-mata dari kacamata hukum pidana. Jazuli berharap Pemerintah melihat serta menyelesaikan masalah tersebut secara komprehensif. Misalnya, melihat akar masalah dari maraknya kejahatan seksual akhir-akhir ini, yang bisa jadi berasal dari pengaruh minuman keras dan pornografi yang belum bisa diatasi.
Seorang penyintas atau korban kekerasan seksual, Shera Rindra, menolak hukuman tambahan seperti yang tertuang dalam Perppu. Menurutnya, kekerasan seksual adalah problem yang sistemik dan tidak bisa diselesaikan dengan kebijakan hukum yang instan. “Seakan-akan Perppu tersebut dibuat hanya menakuti, bukan untuk menyelesaikan persoalan kekerasan seksual,” katanya, seraya menambahkan jika masyarakat dan pemerintah memiliki pola pikir yang penuh kekerasan, yaitu menyelesaikan kekerasan dengan kekerasan. “Sama sekali tidak memberi solusi yang panjang, hanya menakuti dan tidak memberi efek jera kepada pelaku kekerasan,” ujarnya.
Seorang ahli neurologi, doketer Ryu Hassan, mengkritisi sanksi tambahan berupa kebiri kimia kepada pelaku kejahatan seksual. Menurutnya, pengebirian hasrat seksual tidak akan otomatis menghilangkan kejahatan seksual para pelaku. “Kalau secara teroritis, tidak ada hubungannya. Orang jahat, jahat saja. Tidak ada orang jahat, (kalau) libidonya turun, kejahatannya hilang. Tidak ada, tetap jahat,” katanya.
Seksual ‘orang jahat’, menurut Ryu, bukan karena orientasi seksual atau hasrat seksualnya, tetapi kejahatan itu terletak pada pelampiasan terhadap hasrat seksualitas itu. Karena itu, dia tidak yakin sanksi kebiri itu akan berjalan efektif untuk membuat praktik kejahatan seksual akan berkurang kelak. “Secara teoritis tidak akan efektif sama sekali,” tandasnya. (mr/BBC Indonesia/Pikiran Rakyat/Tribbunews)