BAGAIMANA mendidik anak tiri yang suka melawan atau membantah kata-kata orangtuanya? Pendiri Rumah Inspirasi Aisha Dyah Lestyarini dan Randy Ariyanto W. mengatakan bahwa sebenarnya, inti masalahnya ada pada renggangnya ikatan hati antara anak dan orang tua.
Dari semua pertanyaan yang berhubungan dengan ketidakharmonisan antara orang tua dan anak, termasuk juga saat anak melawan, susah diatur, tidak jujur, tidak mau menuruti kata-kata orang tua, itu inti masalahnya ada pada renggangnya ikatan hati (bonding) antara anak dan orang tuanya.
Kerenggangan antara hubungan orang tua dan anak itulah yang menyebabkan masalah-masalah itu muncul. Inti dari bonding itu adalah kita sebagai orang tua harus hadir secara psikologis dan spiritual tidak hanya hadir secara fisik.
Baca Juga: 4 Bekal dalam Mendidik Anak
Orangtua Hadir Secara Psikologis dan Spiritual
Hadir secara psikologis yakni dengan menunjukkan rasa kasih sayang dan perhatian, bercanda dan tertawa bersama, bercerita dan mendongeng, bermain dan belajar bersama serta berdialog dengan penuh kasih sayang dan perhatian.
Setiap hari, sempatkan waktu untuk mencium anak, memeluk anak dan mengucapkan, “Ayah sayang sama Faiz”. Sejenak ngobrol bersama anak, dengarkan ceritanya dengan penuh antusias, sempatkan setiap hari.
Sempatkan sedikit waktu kita untuk bermain bersama, bercanda bersama ataupun tertawa bersama setiap hari. Ajak anak untuk masak bersama, menyiram tanaman bersama, keluar untuk makan bersama.
Semua itu akan membuat diri anak merasa disayangi, dicintai, dihargai keberadaannya, dibutuhkan kehadirannya.
Ketika anak sudah merasa disayangi, dicintai, dihargai keberadaannya maka anak akan cenderung patuh kepada kedua orang tuanya, anak cenderung menjadi anak yang baik.
Sedangkan hadir secara spiritual dengan mengajak mereka beribadah bersama seperti sholat berjamaah di masjid bersama, mengaji selepas subuh dan maghrib bersama, sedekah dengan pergi ke anak yatim bersama, mengumpulkan barang/mainan yang akan disedekahkan bersama, puasa sunah bersama, mendampingi anak melihat film edukatif atau film agama misalnya kisah nabi dan saling memaafkan antar anggota keluarga sebelum tidur.
Banyak orang tua yang abai dengan hal ini. Mereka ada di rumah tetapi tidak hadir. Mereka membiarkan anak bermain sendiri, main games, gadget.
Orang tua sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, padahal anak butuh kepuasan spiritual dan psikologis dari orang tuanya. Saat orang tua mampu hadir dalam ruang psikologis dan spiritualnya insha Allah, itulah solusi dari permasalahan anak.
Lalu terkait dengan kata “tiri”, entah anak tiri, ibu tiri atau ayah tiri. Secara tidak sadar, otak kita itu dicuci sehingga kita punya persepsi bahwa ibu tiri itu kejam, ayah tiri itu kejam, saudara tiri itu kejam.
Saat kita kecil dulu, kita sangat familiar dengan cerita Bawang Putih dan Bawang Merah. Cerita yang legendaris itu secara tidak sadar masuk dalam otak bawah sadar kita bahwa namanya Ibu tiri itu kejam, namanya saudara tiri itu kejam. Kita menyimpan memori-memori itu.
Baca Juga: Anak-anak yang Mati Rasa
Mendidik Anak Tiri yang Suka Melawan
Apalagi dari dulu sampai sekarang, banyak sekali film yang mengangkat tema misalnya ayah tiri, ibu tiri yang jahat atau kesedihan dan kepiluan menjadi anak tiri.
Semua film itu menambahkan persepsi kita bahwa namanya ayah tiri atau ibu tiri itu jahat. Dan besar sekali kemungkinan, anak tiri juga mempersepsikan seperti itu. Anak tiri juga akan menganggap ibu tiri itu jahat, ayah tiri itu jahat.
Coba kita teladani hubungan antara Rasulullah dengan anak angkatnya Zaid Bin Haritsah. Meskpun Zaid bukan anak tiri namun cerita ini bisa menjadi penyemangat kita. Zaid bin Haritsah berasal dari suku Bani Mu’in, ibunya bernama Su’da sedangkan Ayahnya bernama Haritsah.
Pada saat itu, ibu Zaid mengadakan perjalanan ke kampung kerabatnya Bani Ma’an. Secara tiba-tiba, kampung itu diserang, semua harta dirampas termasuk juga Zaid bin Haritsah yang akhirnya dijadikan budak. Zaid dibeli Khadijah dan dihadiahkan kepada Nabi Muhammad.
Setelah bergaul beberapa lama, hubungan keduanya menjadi sangat akrab dan saling menyayangi, walau Zaid ketika itu masih berstatus sebagai seorang budak.
Lama-kelamaan berita itu terdengar oleh bapak Zaid yang kebetulan juga tengah mencari anaknya.
Setelah bertemu dan mengutarakan apa yang dia inginkan kepada Nabi, akhirnya beliau tidak bisa berkata apa-apa melainkan memberikan keputusan sepenuhnya kepada Zaid, yaitu antara memilih tinggal bersama rasul atau pulang ke rumah orang tuanya. Namun Zaid memutuskan untuk tetap tinggal bersama Nabi dan semenjak itulah Nabi memproklamirkan Zaid sebagai anak angkatnya.
Ayah, Bunda, Nabi saja bisa bersahabat dengan budaknya (anak angkatnya) tentu saja kita harus meneladani beliau, bersahabat dengan anak kita sendiri ataupun anak tiri. Ayah, Bunda coba ubah persepsi kita.
Anak tiri itu bukan beban tetapi anak tiri itu adalah investasi.
Jadikanlah anak kita baik anak kandung, anak tiri ataupun anak orang lain sebagai investasi kebaikan. Saat kita mengajarkan hal-hal yang baik, mendidik mereka dengan cara yang baik maka kita sedang menanam investasi kebaikan.
Setiap perbuatan baik yang dilakukan mereka (anak kandung, anak tiri ataupun anak orang lain) maka kita akan mendapatkan pahala yang terus mengalir meskipun kita sudah tiada.
Saat kita mengajari mereka sholat, mengaji Al Quran, ilmu agama atau ilmu kehidupan (ilmu dagang, ilmu menulis, ilmu bahasa inggris), mengajak mereka berpuasa, bersedekah, mengajari mereka berbagai doa-doa.
Saat kita selalu memberikan teladan yang baik maka setiap mereka melakukan sholat, berpuasa, bersedekah maka kita akan mendapatkan pahalanya.
Insha Allah saat di akhirat nanti, kita dan anak (tiri) kita akan saling tolong menolong agar keduanya bisa masuk surga bersama, Aamiin.[ind]