ChanelMuslim.com- Bahagiakah kita Ramadan datang? Bulan yang selama itu kita dilarang makan dan minum pada siangnya. Bulan yang selama itu kita qiyamul lail pada malamnya.
Ada pertanyaan paling mendasar tentang kedatangan bulan Ramadan. Bahagiakah Anda? Coba tanyakan sekali lagi pada hati yang paling dalam: bahagiakah Anda Ramadan datang?
Pertanyaan ini penting untuk diulang. Karena di sinilah kunci seperti apa nantinya Ramadan kita. Kalau ungkapan bahagia atau senangnya hanya sekadar basa-basi, Ramadannya pun hanya basa-basi. Hanya di permukaan saja bagus, tapi dalamnya hambar. Bahkan bisa buruk.
Persis seperti orang yang kedatangan tamu mulia. Ia harus menyiapkan segalanya sebelum tamu datang. Ia juga melayani tamu itu dengan penuh kerelaan. Ia korbankan waktu dan kesempatan bersantainya untuk memuliakan tamu. Bahkan, ia korbankan juga tenaga dan harta demi memuliakan sang tamu.
Kalau ditanya, bahagiakah Anda kedatangan tamu mulia itu? Tamu agung yang akan mengangkat derajat gaib kita di sisi Allah. Derajat yang tak terlihat manusia. Dan, tak bisa diukur dengan takaran materi. Tapi, pengorbanan kita langsung bisa diukur nyata dan terasa. Waktu tersita, harta berkurang, dan tenaga terkuras demi sang tamu.
Sekali lagi, bahagiakah kita dengan kedatangan tamu mulia itu? Bahagiakah kita dengan kedatangan bulan Ramadan? Bulan yang akan membuat kita tidak boleh makan, minum, hubungan suami istri, dan lainnya selama waktu tertentu untuk rentang satu bulan. Bulan yang memaksa perut Anda tak terisi makan dan minum. Bulan yang juga memaksa Anda tidak selayaknya seperti suami istri di siang hari.
Semua pertanyaan mendasar itu hanya bisa dijawab dengan bahasa iman. Seberapa kuat iman Anda, seperti itulah tingkat bahagia yang akan terasa di hati Anda. Tapi, jika iman kita lemah, hati kita akan terasa berat, terasa begitu banyak beban; meskipun lisan kita mengungkapkan bahagia luar biasa.
Silakan lisan mengungkapkan rasa bahagia yang basa-basi. Silakan penampilan kita melambungkan pencitraan. Tapi, amal kita akan membuktikan seperti apa jawaban hati kita yang sebenarnya.
Simak grafik amal kita selama satu bulan Ramadan. Apakah stabil naik hingga akhir bulan? Atau, stabil naik hanya selama satu pekan. Kemudian, meluncur ke bawah hingga “normal” di sepuluh hari akhirnya. Saat itu, Ramadan terasa seperti bulan-bulan biasa. Karena saat itu, kita lebih banyak berada di mal, pasar, jalan, toko kue, dapur; daripada di lingkungan masjid dan musholah rumah kita.
Simak pula tingkat fokus pikiran kita selama itu. Apakah selalu tertuju pada target tilawah, hafalan Al-Qur’an, qiyamul lail dan zikirnya? Atau, lebih tertuju pada hal lain di seputar uang, belanja, stok dapur, baju lebaran, hingga pulang kampung.
Sejatinya, bahagia kita adalah seperti bahagianya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat menyambut Ramadan.
Rasulullah mengatakan, Telah datang kepada kalian bulan Ramadan. Bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan kalian berpuasa. Pintu-pintu surga dibuka. Pintu-pintu neraka ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya, terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi. (HR. Ahmad)
Inilah kabar gembira itu. Kabar gembira yang sedikit pun tidak menyebut tentang jatah dunia kita. Tentang karir kita. Tentang tambahan harta kita. Tentang pencitraan duniawi kita. Dan lainnya.
Kabar gembiranya hanya tentang pahala. Pahala yang berlipat luar biasa. Tapi, tidak akan bisa terlihat dan terasa oleh pandangan duniawi kita. Yang hanya bisa terlihat dan terasa oleh iman kita.
Tanyakan sekali lagi ke hati kita yang paling dalam. Bahagiakah sebenarnya kita dengan datangnya bulan Ramadan? Saatnya mengoreksi hati dan iman kita. Agar, Ramadan yang penuh berkah ini, memang benar-benar sebagai keberkahan. Bukan beban, apalagi siksaan. [Mh]