ChanelMuslim.com- Ada kalimat bijak dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Orang beribadah itu berada pada tiga model. Ada yang beribadah seperti pedagang. Ada yang beribadah seperti budak. Dan ada yang beribadah seperti orang terpuji.
Menurutnya, “Ada orang yang beribadah kepada Allah karena ingin sesuatu, itu adalah cara ibadahnya pedagang. Ada orang yang beribadah kepada Allah karena takut hukuman, itu cara ibadahnya budak atau hamba sahaya. Ada pula yang beribadah kepada Allah karena rasa syukur, itulah cara ibadahnya orang-orang yang merdeka.” (Kitab: Nahj al-Balaghah, Asy-Syarîf ar-Radhiy)
Ungkapan ini tidak memvonis sebuah kesalahan. Karena semua dibenarkan oleh syariat. Tiga model ibadah ini dimaksudkan sebagai peningkatan mutu ibadah, dari tingkatan biasa menjadi istimewa.
Orang yang beribadah seperti pedagang adalah mereka yang cenderung hitung-hitungan. Seperti mana ibadah yang pahalanya banyak dan mana yang sedikit. Karena yang pahalanya banyak akan memberikan keuntungan besar, sementara yang pahalanya sedikit tergolong biasa saja.
Contoh, mereka yang kerap begitu giat ibadah di bulan Ramadan saja. Karena di bulan ini pahala dilipatgandakan. Dan akan surut ibadah di bulan lainnya. Karena pahalanya tidak dilipatgandakan.
Tilawah Al-Qur’annya luar biasa. Bahkan bisa tiga kali khatam dalam satu bulan. Sementara ketika di bulan lain, satu kali khatam pun tidak sampai. Begitu pun dengan qiyamul lailnya. Full dalam satu bulan tanpa absen sekali pun. Tapi, tidak begitu di bulan lainnya. Dan seterusnya.
Ada yang beribadah seperti budak. Orang seperti ini beribadah lebih karena takut dengan hukuman, baik dunia maupun akhirat. Yang ada dalam persepsinya tentang ibadah adalah agar bisa menunaikan kewajiban. Sementara yang tergolong tidak wajib bisa dinomorsekiankan.
Ada juga kelas istimewa. Yaitu, mereka yang beribadah karena ingin mengungkapkan rasa syukur kepada Allah. Betapa Allah telah memberikannya nikmat yang tak terhingga. Nikmat yang tak bisa ia hitung. Nikmat yang terus-menerus mengalir tiap saat tarikan nafas hidupnya.
Ia pun sangat bersyukur karena Allah telah memilihnya sebagai hambaNya yang beriman. Karena tidak semua orang di dunia ini, di wilayahnya, bahkan dalam keluarganya; yang memperoleh nikmat hidayah ini.
Ia curahkan rasa syukurnya itu dalam wujud ibadah. Sebuah ketundukan, kekhusyu’an, kedekatan, dan rasa cinta dan ridha kepada Allah yang telah melimpahkan nikmat luar biasa itu untuk dirinya. Inilah level ibadahnya para Nabi dan orang-orang istimewa lainnya.
Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah heran dengan gigihnya ibadah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Padahal, itu hanya ibadah sunnah. Ia heran, kenapa Nabi beribadah hingga kakinya bengkak karena lamanya berdiri.
Aisyah r.a. pun mengatakan, padahal Allah subhanahu wata’ala telah mengampuni dosa Anda yang sebelum dan sesudahnya.
Nabi hanya menjawab pendek, “Aku hanya ingin menjadi hamba Allah yang selalu bersyukur.”
Kini, tinggal diri kita sendiri yang bisa memilih dan menentukan. Mau seperti apa ibadah kita. Apakah ibadah seperti pedagang yang menghitung-hitung untung rugi. Mau seperti budak yang begitu tekun karena takut dengan ancaman hukuman.
Atau, seperti mereka yang beribadah karena ingin mengungkapkan rasa syukur kepada Allah atas semua nikmat yang tak pernah habis mengalir. Kecil maupun besar. Yang terlihat maupun tidak. Khususnya nikmat hidayah yang jauh lebih mahal dari dunia dan seisinya. [Mh]