ChanelMuslim.com – Cinta Dua Ibu
Sebuah kisah menarik tentang seorang ibu yang kehilangan bayi di rumah sakit. Sebutnya saja ibu itu bernama Mary. Saat itu, rumah sakit di mana Bu Mary melahirkan mengalami kebakaran. Banyak bayi yang jadi korban. Termasuk puteri dari Bu Mary. Tapi, ia tak yakin kalau bayinya salah satu dari para korban itu.
Selama tujuh tahun itu, Bu Mary mengalami stress karena terus dalam bayang-bayang bayinya. Tiap pekan ia konsul ke psikiater pribadinya. Selain memberi obat, psikiater mengkondisikan Bu Mary untuk melupakan masa lalunya.
Baca Juga: Kasih Sayang Ummu Aiman, Ibu Angkat Rasulullah Saw
Cinta Dua Ibu
“Lihatlah ke depan. Anda masih memiliki putera dan suami tercinta,” ucap sang psikiater.
Namun, bayang-bayang puterinya itu tak kunjung lenyap. Bahkan, imajinasinya kerap terbawa arus pada wajah sosok puterinya yang diperkirakan berumur 7 tahun. Mulai dari bentuk mata, alis, hidung, mulut, lesung pipit, rambut, dan cara berjalannya.
Ia tak paham kenapa bayang-bayang tersebut terus menguat. Kadang, ia menangis sendiri di kamar meratapi keteledorannya 7 tahun lalu itu. “Kalau saja, waktu itu aku tidak ke kamar kecil, bayiku masih dalam dekapanku hingga saat ini,” gumamnya.
Ketegangan pun merambat ke hubungan Bu Mary dengan suaminya. Karena Bu Mary menganggap suaminya menilai dirinya sudah tidak waras: menangis tiap malam, dan kerap marah-marah kepada puteranya yang masih 10 tahun. Bu Mary pun menilai, suaminya sudah ikut-ikutan orang-orang lain yang menganggap dirinya lari dari kenyataan.
“Mulai hari ini, kita harus pisah, Mas. Aku akan urus proses perceraian,” ucap Bu Mary kepada suaminya yang hampir tak percaya dengan kenyataan di hadapannya itu.
Bu Mary pun mempersilakan puteranya untuk memilih: tinggal dengan dirinya, atau dengan ayahnya di rumah yang terpisah. Akhirnya, diputuskan, puteranya akan tinggal bergiliran. Beberapa pekan bersama ibu, dan beberapa pekan lainnya bersama ayah.
Kadang, Bu Mary bersikeras untuk memahamkan dirinya bahwa ia memang salah. Lari dari kenyataan seperti yang disampaikan suaminya. Tapi saat itu ia paksakan, kala itu pula ia mengalami sedih yang luar biasa.
Suatu hari, Bu Mary menjemput puteranya di sekolah. Hari itu, hari pertama masuk sekolah setelah libur kenaikan kelas. Siswa-siswi baru pun tampak menghias suasana sekolah itu menjadi pemandangan yang agak berbeda.
Tiba-tiba, ia melihat seorang gadis kecil yang juga bersekolah di situ. Tampaknya, gadis kecil itu salah satu murid baru. Ia juga berseragam dan berjalan bersama teman putera Bu Mary. Bu Mary benar-benar terpesona. Hatinya bergetar hebat. Entah kenapa, ia seperti memandangi sosok dirinya ketika seusia gadis kecil itu.
“Anak itu benar-benar mirip aku,” ujar batinnya.
Ia pun menyempatkan diri memotret gadis kecil itu melalui ponselnya, dari kejauhan. Pandangannya terus tertuju kepada gadis itu, meskipun puteranya sudah ada di hadapannya untuk ikut bersama ibunya pulang.
Di dalam mobil miliknya, Bu Mary bertanya kepada puteranya, “Apa kamu kenal dengan gadis kecil itu, Nak?” Puteranya menatap ke luar jendela mobil untuk memastikan siapa yang ditanya ibunya itu.
“Oh, itu adik teman sekelasku. Aku tidak tahu namanya, tapi ia siswi baru,” jawab puteranya santai.
Dari dalam mobil, Bu Mary memperhatikan dengan siapa gadis kecil itu dijemput. Ternyata, seorang ibu yang seusia dengannya, juga dengan mobil pribadi. Sebegitu penasarannya, ia buntuti mobil yang membawa gadis kecil itu. Dan akhirnya, tiba di sebuah rumah dengan tulisan besar di gerbangnya ‘Dijual’.
Keesokan harinya, ia buntuti lagi mobil yang membawa gadis kecil itu. Entah kenapa, hatinya terus bergejolak. Tapi, puteranya yang ikut bersamanya merasa bingung. “Ibu mau kemana?” ucapnya. “Kita ke rumah temanmu,” jawab Bu Mary.
Setiba di rumah itu, Bu Mary menatapi gadis kecil itu dari balik gerbang. Ia lagi-lagi larut dalam pesona yang dilihatnya. Sedemikian larutnya, ia tak menyadari kalau pemilik rumah sudah berada di dekatnya. “Ada yang bisa kami bantu, Bu?” ucap seorang ibu yang tiba-tiba sudah berada di balik gerbang.
“Eh, anu. Saya mau lihat-lihat rumah ini. Mau dijual kan?” ucap Bu Mary agak gugup.
Ibu pemilik rumah itu pun mempersilakan Bu Mary masuk. Setelah sadar kalau puteranya teman sekelas dengan putera Bu Mary, pemilik rumah itu kian akrab dengan Bu Mary. Bahkan, Bu Mary diajak ke semua sudut ruangan, termasuk kamar anak gadis kecil itu. “Ini kamar si bungsu. Namanya Elisa,” ucapnya.
Lagi-lagi, hati Bu Mary bergetar hebat saat menatap gadis kecil itu. Elisa sedang duduk bersisir rambut di kamar itu. Ia pun menoleh ke arah Bu Mary sambil melempar senyum manisnya. Saat itu, Bu Mary tidak lagi mendengar apa yang diucapkan sang pemilik rumah tentang keadaan rumah itu. Seluruh fisik dan jiwanya hanyut dalam sosok Elisa.
“Putera ibu hanya satu, atau ada yang lain?” tanya sang pemilik rumah. Bu Mary agak gugup dengan pertanyaan itu. Ia pun menjawab, “Oh hanya satu.”
Keesokan harinya, Bu Mary dinasihati panjang lebar oleh dokter psikiaternya setelah menceritakan terus terang apa yang ia alami. “Bu, apa yang ibu rasakan itu hanya ilusi yang dimainkan oleh jalan pikiran ibu yang terjebak dalam masa lalu,” ucap sang dokter.
Sepulang dari dokter, Bu Mary sudah ditunggu di depan rumah oleh suaminya. Meskipun dalam proses cerai, suami Bu Mary kerap berkunjung untuk menjemput atau mengembalikan putera mereka. Dan itu pun hanya di depan rumah, tidak sampai masuk ke dalam rumah.
“Sudah aku katakan, jangan terus hanyut dengan masa lalu. Yang sudah pergi lupakan saja. Urus baik-baik putera kita,” tegas sang suami. Rupanya, suami Bu Mary mendapat laporan dari putera mereka kalau Bu Mary masih penasaran dengan Elisa, adik teman putera mereka.
Malam itu, Bu Mary menangis sejadi-jadinya. Sudah dua pihak yang menganggapnya seperti wanita tidak waras: dokter dan suaminya. Bukan itu saja, kantor tempat Bu Mary bekerja, memarahi Bu Mary karena kerap membolos. Ia pun mengalami pemecatan dengan tidak hormat.
Meski di malam hari ia menangis seperti menyesal, di pagi dan siangnya lain lagi. Bu Mary diam-diam menyelinap masuk ke rumah Elisa. Kebetulan rumah itu tidak terkunci. Ketika tuan rumah lengah, Bu Mary langsung nyelonong ke kamar Elisa. Ia buka pintu kamar itu dengan pelan.
Ternyata, Elisa sedang tidur pulas. Setelah masuk ke kamar itu, Bu Mary terus memandangi Elisa. Ia seperti memperoleh kepuasan baru yang lama tidak ia dapatkan. Sedemikian hanyutnya dalam pesona Elisa, Bu Mary tidak menyadari kalau pintu kamar itu dibuka ibu pemilik rumah.
Ibu pemilik rumah pun terkejut bukan kepalang. Hampir saja ia berteriak keras. Tapi setelah tahu kalau wanita asing itu adalah Bu Mary yang pernah datang bersama puteranya, dan juga berniat mau membeli rumah, ibu itu pun mencoba tenang.
“Tolong keluar dari kamar puteriku,” ucap ibu itu sambil mengajak Bu Mary keluar dari kamar Elisa.
Setelah keduanya di ruang tamu, ibu itu pun berucap, “Aku yakin tujuanmu dari awal bukan karena tertarik dengan rumah ini kan. Apa maksudmu berada di kamar puteriku?”
Saat itulah Bu Mary akhirnya terus terang, tentang puterinya yang dikabarkan rumah sakit mati dalam peristiwa kebakaran. Juga, saat dirinya begitu yakin kalau puterinya itu tidak mati. Dan terakhir, keyakinan Bu Mary kalau Elisa adalah puterinya.
“Aku yakin Anda memang sudah tidak waras. Elisa itu anakku,” ucap ibu pemilik rumah itu. Ia pun mengusir Bu Mary dari rumahnya. Ia mengancam, kalau Bu Mary mengulangi lagi, akan dilaporkan ke polisi.
Lagi-lagi, Bu Mary dalam pengaruh emosi yang luar biasa. Antara marah, cinta, dan bingung harus berbuat apa. Malam itu, ia tidak bisa tidur. Obat yang biasa ia minum tak lagi mempan membuatnya tenang dan tidur pulas.
Malam itu pula, ia kembali mendatangani rumah Elisa. Rumah itu tampak ramai seperti ada pesta kecil. Banyak orang keluar masuk rumah itu. Mungkin para tetangga dan sanak kerabat. Bu Mary pun mencuri dengar dari para tamu itu kalau rumah itu sedang melangsungkan jamuan perpisahan. Karena tak lama lagi, keluarga itu akan pindah rumah.
Hal itu menjadi peluang buat Bu Mary. Ia tidak perlu repot-repot lompat pagar. Ia cukup berbaur dengan para tamu yang hadir. Dan di saat ada kesempatan, ia pun menyelinap ke lantai atas untuk masuk ke kamar Elisa.
Setelah berhasil masuk, tempat tidur Elisa tertutup selimut. Ia dekati tempat tidur itu dengan perlahan. Setelah dibuka, ternyata di balik selimut itu hanya ada bantal guling. Elisanya tidak ada. Bu Mary pun terperangah.
Namun, ia tak kehabisan akal. Bu Mary mengambil sisir rambut yang biasa digunakan Elisa. Ia seperti ingin mengambil sampel rambut Elisa untuk nantinya diuji tes DNA. Dan ia yakin kalau Elisa itu memang puterinya.
Tiba-tiba, ia mendengar langkah seseorang mendekati kamar itu. Ia panik bukan kepalang. Dengan spontan, Bu Mary masuk ke lemari pakaian Elisa. Dari balik lemari, ia merasakan langkah itu mondar-mandir di sekitaran kamar. Bu Mary terus duduk membungkuk dalam lemari. Khawatir kalau pemilik langkah itu membuka lemari. Syukurnya, hal itu tidak terjadi.
Entah karena kelelahan atau pengaruh obat yang sudah ia minum sebelum tidur tadi, Bu Mary tiba-tiba merasakan kantuk yang luar biasa. Tanpa ia sadari, ia tertidur pulas dalam lemari itu.
Keesokan paginya, suami tuan rumah itu berangkat bersama Elisa dan kakaknya ke sekolah. Ibu tuan rumah itu masih berbenah selepas jamuan perpisahan semalam.
Mengendap-endap, Bu Mary keluar kamar dan melalui beberapa ruangan, mencoba untuk keluar rumah. Sayangnya, ibu tuan rumah itu memergoki Bu Mary saat melintas ruangan dapur. Rupanya Bu Mary berencana untuk keluar rumah lewat pintu belakang.
Pertemuan dua ibu itu pun menjadi begitu menegangkan. Bu Mary mencoba lari menerobos pintu belakang. Tapi, ibu tuan rumah itu lebih cepat lagi. Ia berhasil menangkap lengan Bu Mary. Tarik-tarikan pun tak terelakkan. Keduanya terjatuh. Termasuk tas yang dipegang Bu Mary. Sisir rambut Elisa pun terpental dan menjadi sorotan keduanya.
Ketika Bu Mary akan merebut sisir itu, ibu tuan rumah itu memukul wajah Bu Mary dengan sebuah wajan. Wajahnya berdarah karena luka.
Ketika ibu tuan rumah itu akan memukul untuk kedua kalinya, Bu Mary berteriak, “Kamu tidak pernah merasakan betapa pedih dan menderitanya kehilangan anak. Sekarang akui dengan terus terang, siapa Elisa sebenarnya?”
Melihat darah yang menetes di pelipis mata Bu Mary, ibu tuan rumah itu tertegun. Ia tidak seagresif sebelumnya. Ucapan Bu Mary membuatnya seperti menyesalkan sesuatu. Dan tiba-tiba, ia pun menangis.
“Baik aku akui, Elisa memang bukan anakku. Aku mendapatkannya ketika tak ada orang yang menyelamatkan dia dari kebakaran. Sementara anakku menjadi salah satu korban di rumah sakit itu,” ucap ibu itu terbata-bata.
Ia pun memeluk Bu Mary. “Maafkan aku. Maafkan aku,” ucapnya.
Beberapa hari kemudian, setelah dua keluarga itu berembug, dicapai kesepakatan. Bu Mary tidak melaporkan kasus itu ke polisi. Sebagai gantinya, ibu dan keluarga itu mempersilakan Elisa untuk menemui keluarga Bu Mary sesuka Elisa. Seolah, diperkenalkan kepada Elisa bahwa ia memiliki dua keluarga sekaligus. (Mh)