ChanelMuslim.com – Sapaan Tuhan
Seorang anak tinggal nan jauh dari keluarganya. Hari-harinya begitu padat dengan kegiatan pendidikan. Meski tak bisa jumpa secara fisik, ia masih bisa bercurah hati kepada ayah ibunya melalui alat telekomunikasi.
Ia tergolong beruntung karena orang tuanya kaya. Secara teori, anak dari orang tua yang kaya akan selalu tercukupi kebutuhannya. Apa pun dan berapa pun yang ia inginkan.
Namun, tak begitu yang ia alami. Justru, ia merasa ada yang lain dari ayah ibunya. Kiriman uang tak pernah sisa. Hanya pas untuk kebutuhan pokok: makan sekadarnya, kebutuhan sekolah, dan sandang pangan secukupnya.
Baca Juga: Taubat sebagai Kebutuhan Manusia
Sapaan Tuhan
Ia pun hanya tinggal di rumah kos sangat sederhana. Tak seorang siswa pun yang kos di situ pernah menyangka kalau si anak itu berasal dari orang tua yang kaya. Karena sudah umum, kalau semua yang kos di situ, berasal dari keluarga sederhana.
“Apa ayah ibumu tak cukup uang untuk membiayai kos yang lebih memadai?” ucap seorang temannya suatu kali. Sang teman itu terheran bagaimana mungkin ada anak orang kaya bisa tinggal di kos seperti itu.
Yang ditanya hanya terdiam. Ia pun larut dalam emosi ketika sang teman menambahkan, “Atau jangan-jangan, ayah ibumu memang tak begitu sayang denganmu.”
“Nak jangan pedulikan apa kata orang lain. Kalau kamu kurang uang, bilang! Kalau kamu ada masalah, cerita!” ucap orang tuanya suatu kali.
Sedemikian seringnya sang anak bilang dan cerita, ia seperti bosan dalam bayang-bayang ketidakadilan. Buat apa uang banyak yang dimiliki orang tuanya, sementara dirinya hidup serba prihatin. Padahal, ia jauh dari ayah ibu bukan untuk wisata dan senang-senang. Tapi untuk belajar demi masa depan keluarga.
Menariknya, ketika sang anak bosan untuk menyapa ayah ibunya melalui sambungan telepon, orang tua itulah yang aktif menyapa. “Gimana Nak, apa sudah makan? Gimana Nak, apa sudah belajar?” Dan seterusnya.
Tapi, nyaris tak terlontar sapaan: gimana Nak, apa sudah cukup uangmu? Ini ayah ibu kirimkan yang banyak ya, supaya kamu bahagia.
Terbersit juga di lintasan pikiran sang anak kalau ayah ibunya itu pelit. Padahal, ia sedang berjuang di negeri orang untuk menuntut ilmu. Buat apa uang yang bertumpuk di bank itu kalau untuk anaknya tidak diberikan secara “cukup”. Rasanya, untuk seribu anak pun, uang sebanyak itu tak akan habis jika dibagikan setiap hari.
Seperti itulah waktu berlalu dalam serba kekurangan. Seperti itu pula seribu satu prasangka ia alamatkan untuk orang tuanya nan jauh di sana. Tapi, kadang hal itu cair sendiri manakala ayah ibunya menelepon, menyapanya dengan penuh kasih dan sayang.
Waktu pun bergulir menelusuri pergantian momen. Tanpa terasa, masa pendidikannya tuntas. Ia bahagia. Tapi, sempat terlintas juga apakah kebahagian itu juga dimiliki ayah ibunya yang ia anggap pelit.
Ketika tiba di rumah, sang anak terperanjat kalau ayah ibunya sudah beberapa pekan meninggal dunia. Ia protes ke semua orang di keluarga itu. Hanya sepucuk surat yang diberikan manakala ketidakpuasan itu sudah tak lagi tertahankan.
“Ini surat dari ayah ibu, khusus untukmu,” ucap seorang anggota keluarga kepadanya.
Panjang lebar isi surat itu bertutur. Kadang membuatnya tersenyum, tak jarang menjadikkan air matanya berlinang. Di antaranya surat itu mengatakan, “Anakku, kalau kamu merasa benci karena kami memberikanmu uang yang sedikit. Terus terang, kami jauh lebih benci lagi karena menahan diri untuk tidak memberimu uang banyak yang kami miliki.
“Anakku, semua ini kami lakukan agar kamu selamat dalam misi utamamu di sana. Agar kamu tidak banyak menoleh ke kiri dan kanan, depan dan belakang; karena sibuk dengan imajinasi di balik uang banyak yang kami berikan itu.
“Anakku, kami hanya ingin kamu berkomunikasi dalam rentang jarak nan jauh itu bukan karena dorongan uang. Bukan karena kebutuhan yang seringnya melalaikan. Tapi lebih karena hubungan cinta dan sayang antara kami dan anak tercinta.”
Anak itu menangis sejadi-jadinya. Rasanya, uang ayah ibu yang kini di hadapannya, sedikit pun tak berarti di banding cinta mereka. Tak berarti, di banding keberhasilannya di misi pendidikannya.
**
Akan tiba masanya, hamba-hamba Allah yang saat ini merasa tersiksa karena kurangnya rezeki. Hamba-hamba Allah yang menderita karena kehidupan yang pas-pasan, bahkan serba kekurangan. Padahal, Tuhan mereka Maha Kaya, yang kekayaannya tak pernah terkira.
Akan tiba masanya, hamba-hamba Allah itu memahami kenapa cinta Tuhan jauh lebih utama dari gemerlap apa pun yang ada di dunia ini. Karena boleh jadi, siksa dan derita karena ketiadaan itu, justru membimbingnya dalam sukses misi hidup ini. Sukses dalam kebersamaan abadi, antara ridha hamba dengan ridha Tuhannya. (Mh)