ChanelMuslim.com – Perhiasan Tamu Pak Amir
Di sebuah kampung nan jauh terpencil, tinggal sebuah keluarga miskin. Rumahnya terbuat dari potongan kayu seadanya. Walaupun sangat sederhana, keluarga Pak Amir ini melalui kehidupannya dengan bahagia.
Pagi hari Pak Amir pergi ke hutan mencari kayu kering untuk dijual di pasar. Sementara Bu Amir dan dua puteranya yang masih kecil pergi ke ladang untuk memanfaatkan kesuburan tanah mereka tinggal. Sepulang dari pasar, Pak Amir membawa bahan kebutuhan pokok mereka. Cukup untuk esok pagi. Begitu seterusnya.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Kahfi Ayat 7, Perhiasan Dunia sebagai Ujian
Perhiasan Tamu Pak Amir
Suatu malam, ada seseorang mengetuk pintu rumah mereka. Pak Amir mendapati seorang kakek yang kelelahan dari perjalanan jauh.
“Maaf aku mengganggu kalian. Kalau tidak keberatan, aku butuh tempat menginap. Besok pagi, aku akan meneruskan perjalanan,” ujar sang kakek.
“Oh silakan,” ucap Pak Amir sambil mempersilakan sang kakek masuk ke rumah kecil mereka. Mendapati sang kakek seperti kelaparan, Pak Amir dan keluarga pun menyediakan tamunya itu sepiring nasi dan lauk seadanya. Mungkin, itulah jatah makan Pak Amir untuk besok pagi.
“Terima kasih. Kalian baik sekali,” kata sang kakek. Ia pun menikmati makanan yang sudah disediakan.
Pagi hari yang cerah. Pak Amir sudah bersiap berangkat seperti kebiasaannya. Begitu pun dengan isteri dan anak-anak Pak Amir. Tapi, mereka mendapati sang kakek masih terlelap dalam tidur.
Pak Amir pun membangunkan tamunya itu. Tapi, ia mendapati sang kakek terbujur kaku. Setelah diperiksa lebih teliti, ternyata sang kakek itu meninggal dunia.
Pak Amir dan keluarga bingung. Mau minta tolong ke siapa. Rumah yang terdekat dengannya butuh waktu berjam-jam. Akhirnya, Pak Amir dan isteri mengurus jenazah itu semampu mereka.
Setelah selesai, Pak Amir mendapati tas milik sang kakek masih tergolek di tempat tamunya itu tidur semalam. Tadinya, Pak Amir ingin membuang tas itu. Tapi, isi tas itu terasa berat saat diangkat. Penasaran, Pak Amir dan istri pun membuka tas dari rajutan kain itu.
Mereka terbelalak. Ternyata isi tas itu penuh dengan perhiasan emas. “Ini barang perhiasan asli atau palsu, Pak?” ucap istri Pak Amir. Pak Amir sesegera mungkin menutup tas itu. Ia bingung harus berbuat apa.
Hari itu, mereka tak jadi pergi kemana-mana. Menu makan hari itu dicukupi dengan singkong rebus yang mereka ambil dari ladang belakang rumah. Malam harinya, istri Pak Amir memberikan ide.
“Pak, bagaimana kalau dicek ke pasar apa emas ini asli atau palsu. Satu saja,” ucapnya.
“Kalau asli bagaimana?” tanya Pak Amir kemudian.
“Ya dijual saja. Hitung-hitung untuk biaya pengganti mengurus almarhum,” jawab istri Pak Amir.
Pak Amir tercenung. Malam itu, ia dan istri tak seperti biasanya yang mudah tidur dan langsung nyenyak. Saat larut malam, keduanya baru bisa tertidur.
Pagi hari, Pak Amir siap-siap berangkat. Kali ini, ia tidak pergi mencari kayu. Melainkan, langsung pergi ke pasar untuk memastikan keaslian salah satu perhiasan di rumah mereka.
Sepulang dari pasar, Pak Amir tampak memikul barang begitu banyak. Tak seperti biasanya yang hanya membawa sekantung beras dan lauk. Ternyata, salah satu perhiasan emas itu asli. Ia pun mendapat uang banyak dari menjual emas itu.
Istri dan anak-anak Pak Amir menyambut bahagia. Belum pernah mereka dapatkan “kemewahan” itu. Seumur hidup mereka. Ada daging, aneka kue, pakaian, perabotan rumah tangga, dan lainnya.
Bulan-bulan berikutnya pun berulang. Pak Amir pergi ke pasar dan pulang dengan membawa “oleh-oleh” yang banyak. Kehidupan keluarga ini berubah singkat. Mereka tidak lagi pergi di pagi hari untuk mencari makan. Mereka pun tidak mudah tidur seperti biasanya. Di benak mereka selalu terbayang, apa yang mau mereka beli lagi untuk berikutnya dan berikutnya.
Suatu siang, dua orang datang mengetuk pintu rumah Pak Amir. Pak Amir dan istri pun menjumpai keduanya.
“Kami polisi dari kota. Mau menanyakan apa melihat seorang pria tua yang melewati wilayah sini?” ucap salah seorang dari mereka.
Pak Amir dan istri terkejut. Mereka bingung harus menjawab apa. Kalau dijawab ya, pasti akan ditanyakan tentang isi tas itu. Sementara sebagian perhiasan itu sudah mereka belanjakan. Bukankah itu mereka akan dipenjarakan karena memakan harta milik orang lain.
“Oh anu, tidak Pak. Ya kan Bu,” ucap Pak Amir agak terbata-bata. “Memangnya, dia itu siapa Pak Polisi sehingga dicari sampai ke tempat yang jauh ini?” lanjut Pak Amir.
“Dia itu seorang pencuri yang melarikan diri. Sudah bertahun-tahun menjadi kejaran kami,” jawab polisi. Setelah pamit, kedua polisi itu pun pergi.
Kini, kebingungan Pak Amir dan istri kian menjadi. Mereka yakin, polisi tidak akan mempercayai ucapan mereka. Kalau berterus terang, Pak Amir tak akan mampu mengganti perhiasan yang telah dijual. Ujung-ujungnya, mereka akan dipenjara.
Beban pikiran ini pun terus menggelayut dalam keseharian Pak Amir dan istri. Mereka tidak lagi menikmati makanan dan minuman berlimpah yang ada di rumah mereka. Tidur nyenyak pun menjadi barang mewah yang sulit mereka rasakan.
Di luar sepengetahuan mereka, pedagang emas di kota kerap membincangkan Pak Amir yang sering menjual perhiasan. Omongan ini sampai ke telinga kelompok penjahat. Mereka pun mendatangi rumah Pak Amir yang dikira orang kaya atau masih menyimpan harta banyak.
Di suatu malam ketika Pak Amir dan istri masih terjaga, pintu rumah mereka diketuk orang. “Pak, sepertinya polisi itu balik lagi,” ucap istri Pak Amir agak ketakutan.
Setelah dibuka, lima orang masuk ke rumah Pak Amir dengan paksa. Para penjahat itu menganiaya Pak Amir dan istri untuk menyerahkan harta yang ada. Mereka merampas semua harta di dalam rumah itu termasuk sisa perhiasan yang disimpan Pak Amir. Semuanya tanpa sisa.
Pak Amir dan istri mengalami luka parah. Syukurnya, kedua anak mereka selamat. Untuk membiayai pengobatan, Pak Amir menjual sisa-sisa yang berharga dari rumah itu. Hingga, rumah itu habis bersama tanah dan ladangnya.
Setelah sembuh, Pak Amir dan istri membangun kembali rumah di lokasi yang lebih terpencil. Karena hanya itulah yang bisa ia lakukan untuk menyambung hidup. Mereka bangun kembali kehidupan dari awal. Persis seperti sebelum kedatangan tamu, sang kakek pembawa perhiasan itu.
**
Begitu banyak hikmah kenapa harta tidak Allah subhanatu wata’ala bagi kepada semua hambaNya. Karena di balik kemilaunya, harta tidak selalu identik dengan bahagia.
Bersyukurlah dengan apa yang di tangan kita. Dan itulah bahagia hakiki yang Allah berikan dalam sejenak kehidupan kita. (Mh)