ChanelMuslim.com- Kementerian Agama tiba-tiba memunculkan program kontroversi: Penceramah Bersertifikat. Ditargetkan, mulai bulan September ini akan dilakukan 8.200 penceramah bersertifikat: 8.000 di daerah, dan 200 di pusat.
Kontroversi program ini tertuju pada banyak hal. Antara lain, urgensi program. Hal mendesak apa sehingga program ini tiba-tiba begitu prioritas. Padahal, mitra kerja Kemenag yaitu Komisi VIII DPR RI mengaku belum pernah mendapat ajuan program ini. Kalau DPR belum memberi persetujuan, lalu darimana Kemenag memperoleh dana.
Kedua, program ini dirasa melenceng dari fokus kerja pemerintahan Jokowi. Berkali-kali, Presiden mengingatkan para menterinya untuk fokus pada program penanganan Covid-19. Padahal, dampak sosial dari wabah ini sudah menaikkan problem masyarakat yang menjadi tupoksi Kemenag, seperti naiknya angka perceraian hingga tiga kali lipat. Bahkan sertifikasi untuk guru dan dosen di wilayah wewenang Kemenag saja masih dirasakan banyak masalah.
Ketiga, program ini akan melibatkan Lemhanas, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Keterlibatan tiga lembaga ini dirasakan janggal oleh banyak pihak karena adanya ketidaksesuaian antara tujuan sertifikasi dengan tiga lembaga ini. Karena Kemenag berdalih bahwa program penceramah bersertifikat untuk meningkatkan kompetensi para penceramah.
Kalau memang untuk meningkatkan kompetensi, bukan tiga lembaga itu yang pantas untuk dilibatkan. Melainkan, lembaga yang memang diakui publik memiliki kapasitas kompetensi keagamaan Islam yang mumpuni. Contohnya, Majelis Ulama Indonesia. Kalau soal makanan dan minuman saja, MUI yang menjadi standar ukuran, kenapa soal penceramah agama diserahkan ke pihak lain yang tidak memiliki hubungan apa pun.
Selain itu, memori publik masih segar dengan pernyataan kontroversi ketua BPIP pada Februari lalu, beberapa saat setelah dilantik Presiden. Menurutnya, kalau mau jujur, musuh terbesar Pancasila adalah agama. Bukan kesukuan.
Mengeluarkan sertifikat untuk penceramah dengan keterlibatkan tiga lembaga itu terasa sangat menyudutkan umat Islam. Seolah, problem utama tidak kompetennya para penceramah karena mereka tidak pancasilais dan memiliki potensi meruntuhkan negara.
Padahal, sejarah mencatat bahwa pihak yang paling terdepan dan terbesar pengorbanannya dalam pendirian dan kelanggengan republik ini adalah para ulama. Baik saat masa penjajahan maupun dalam melawan perusak dari dalam seperti Partai Komunis Indonesia di masa Orde Lama. Jadi mempersoalkan kenegarawanan para ulama dan penceramah sama saja dengan kacang lupa kulitnya.
Kalaupun penceramah bersikap tegas dalam menyuarakan amar makruf nahi munkar, itu semata-mata karena panggilan suci untuk bangsa ini. Dan itulah esensi utama dari seorang dai, penceramah, ustaz, dan ulama. Karena penceramah bukan produk tontonan, melainkan sebagai tuntunan agar bangsa ini tidak terjerumus dalam kehancuran.
Jika penceramah berani meluruskan penyimpangan pemerintah dalam ceramahnya, jangan dipahami sebagai anti pemerintah, apalagi distigmakan sebagai anti Pancasila, apalagi dianggap sebagai penebar benih terorisme. Hal itu semata-mata bentuk kepedulian suci mereka untuk menyelamatkan bangsa dan negara ini.
Kalau memang ingin menaikkan kompetensi penceramah, kenapa tidak dimulai dari sisi dasar tugas ini. Antara lain, tentang bacaan dan hafalan Alquran, penguasaan tafsir, bahasa Arab, sejarah Islam dan Indonesia, pemahaman tentang multikultural Indonesia dan lainnya.
Cukup sudah bangsa ini dibuat menderita karena ketidakmampuan pemerintah menangani wabah Covid-19. Jangan ditambah lagi dengan stigma-stigma menyakitkan yang kian menurunkan tingkat imun rakyat dari penularan corona. (Mh)