ChanelMuslim.com- Niat merupakan dasar dari amal ibadah. Jika niatnya lurus, karena Allah saja, maka amalnya akan bermutu. Tapi, jika niatnya karena yang lain, amalnya akan rusak. Di momen Idul Adha ini, niat seperti apa yang sudah kita pasang untuk menunaikan ibadah kurban.
Dalam hadis mutawatir yang disampaikan melalui Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasululllah shallallahu ‘alaihi wassalam menyampaikan: “Amal itu tergantung niatnya. Dan, seseorang mendapatkan (balasan) sesuai niatnya…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pertanyaannya, kenapa bicara tentang ibadah kurban diawali dengan pembicaraan soal niat? Tidakkah sebaiknya pembicaraan lebih ke arah mengajak yang belum berkurban untuk semangat berkurban, daripada mengotak-atik mereka yang sudah mau berkurban.
Jawabannya sederhana. Dalam Islam, pembicaraan tentang ibadah yang berkaitan dengan keluarnya uang banyak, umumnya diawali dengan pelurusan niat.
Ketika Allah subhanahu wata’ala mewajibkan bagi yang mampu untuk melaksanakan ibadah haji, sebelum masuk perintah, ayatnya diawali dengan pelurusan niat: karena Allah saja.
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ عَنِ ٱلْعَٰلَمِينَ
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imran: 97)
Ibadah haji yang menyedot biaya besar sangat berpotensi menyelewengkan pelaksananya mengalami pergeseran niat. Inilah saya yang mampu menunaikan ibadah haji. Uang saya banyak. Tapi, uang banyak itu tetap saya salurkan untuk ibadah. Karena itu, perhatikanlah saya. Angkatlah status saya sebagai Pak atau Bu haji.
Begitu pun tentang ibadah kurban. Tentang perintah ibadah ini, Allah mengawali dengan penegasan bahwa takwalah yang Allah nilai, bukan soal hebatnya fisik hewan kurban. Dan takwa merupakan keadaan seseorang manakala niatnya begitu lurus hanya karena Allah.
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al Hajj: 37)
Indonesia merupakan negeri kaya budaya. Begitu banyak kreasi indah yang menyajikan sesuatu tidak sekadar isinya. Kemasan-demi kemasan kerap mengiringi sebuah amal besar seperti haji, kurban, pernikahan, dan lainnya.
Suatu hal yang mungkin tidak terjadi di negeri lain. Ketika seseorang ingin berangkat haji, akan ada seremonial tertentu yang mengiringinya. Dan, seremonial yang merupakan kreasi budaya itu selalu melibatkan orang banyak. Di situlah, godaan pergeseran niat mulai terjadi. Sehingga, menjadi wajar ketika mereka yang setelah pulang ibadah haji, akan mendapatkan “gelar” sebagai pak atau bu haji.
Padahal, belum pernah kita dengar ada yang menyebut Abu Bakar Ashshiddiq sebagai haji Abu Bakar. Atau, haji Umar bin Khaththab, dan seterusnya. Padahal, mereka juga melaksanakan ibadah haji.
Budaya ini mungkin tidak salah. Tapi, setidaknya, akan menjadi ujian tersendiri untuk pelaksananya agar meluruskan niat bahwa bukan “gelar” ini yang mereka tuju. Hal ini agar suatu saat ketika seseorang tidak menyebut pak atau bu haji dalam menyebut namanya, ia tidak menjadi tersinggung.
Begitu pun dalam hal kurban. Dalam skala kampung, setidaknya Pak RT akan tahu bahwa si fulan melaksanakan ibadah kurban. Tidak ada yang salah tentang ini. Tapi, ketika ada kepuasan saat banyak orang menyebut dan memuji bahwa ia menunaikan ibadah kurban, itulah persoalan yang tidak bisa dianggap sepele.
Karena, di saat itulah ada potensi pergeseran niat. Bukan lagi karena Allah, melainkan karena menjaga status sosial, karena rutinitas tahunan, karena ingin dianggap peduli dengan keadaan sosial, dan seterusnya.
Sekali lagi, bukan berat daging hewannya yang sampai kepada Allah. Melainkan, karena keadaan takwa yang tidak terlihat itulah yang akan membuahkan ridha Allah. (Mh)