ChanelMuslim.com- Tak seorang pun bisa luput dari khilaf dan salah. Pria maupun wanita. Dengan dosis kekhasan khilafnya masing-masing, pria maupun wanita harus berani mengungkapkan kata yang paling berat diucapkan: maaf.
Baik pria maupun wanita memiliki potensi ego yang sama. Dalam ruang lingkup nalar pria maupun di dunia emosi wanita, kekhilafan atau kesalahan melangkah selalu bisa terjadi. Agar pasangan pria wanita bisa kembali menemukan titik keseimbangannya dalam hal ini, mesti diawali dengan kata maaf.
Kata yang terdiri hanya dari empat huruf ini memang begitu ringan ditulis. Tapi, begitu berat diucapkan. Kenapa? Sejumlah hambatan yang tidak sederhana biasanya menciptakan rute benang kusut untuk menuju kata maaf.
Maaf sejatinya adalah sebuah pengakuan. Bahwa, ada kekurangan dalam diri kita. Bukan pada fisik, tapi pada sikap atau cara pandang diri kita terhadap pasangan. Sementara cara pengungkapannya: dengan lisan, tindakan, atau isyarat; hanyalah tampak luar yang akhirnya bisa dirasakan pasangan.
Pengakuan inilah kendala besarnya. Karena itu, cara pandang yang kita anggap benar harus sering-sering dibongkar pasang. Caranya? Di antaranya dengan banyak interaksi dan diskusi. Interaksi yang paling utama adalah dengan merujuk pada teladan kita: Nabi Muhammad saw., sahabat radhiyallahum ajmain, para ulama, dan orang-orang yang bisa kita percaya.
Dengan begitu, kita seperti menguji pandangan kita dengan bingkai-bingkai yang sudah terjamin benar. Setelah itu, diuji melalui yang lebih teknis dan kekinian. Di antara contoh cara ini adalah dengan meminta pendapat sahabat atau orang dekat yang kita percaya untuk menyampaikan pendapatnya.
Di masa Nabi saw., ada seorang sahabat yang minta pendapat tentang perilaku istrinya yang ia sangat tidak suka. Ia menganggap istrinya salah besar ketika tidak menyampaikan kematian putera mereka ketika sang suami baru tiba dari bepergian. Baru setelah ia istirahat, makan, bahkan berhubungan suami istri, berita duka itu disampaikan istri.
Kenapa tidak disampaikan sejak awal ketika ia tiba di rumah? Ini kan soal penting. Kok, ditunda-tunda seperti hal yang sepele.
Setelah disampaikan hal itu ke Nabi saw., di luar dugaan suami, justru Nabi saw. memuji sang istri. Nabi saw. pun memanjatkan doa agar Allah swt. memberikan keberkahan mereka dengan anak yang baru.
Bayangkan jika sang suami tidak terlebih dahulu membongkar ulang pandangannya terhadap sang istri. Boleh jadi, ia akan marah besar bahkan bisa menjurus pada perceraian karena menganggap istri telah melakukan kesalahan fatal.
Pada saat terbongkarnya pandangannya yang keliru itulah, sang suami akan begitu ikhlas mengatakan, “Maafkan aku, istriku! Aku keliru!”
Perhatikanlah, yang melakukan bongkar pasang pandangan sang suami adalah si suami sendiri. Bukan rekayasa istrinya. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran untuk menguji cara pandang itu sebaiknya muncul dari diri sendiri, bukan pihak lain.
Bisakah pengakuan dibangun melalui rekayasa pihak lain, bukan atas kesadaran dari diri sendiri? Opsi ini bisa saja dilakukan ketika pengakuan tak kunjung muncul.
Sebuah kisah di masa Nabi saw. juga menarik diambil pelajaran. Seorang istri menceritakan kepada kakak prianya tentang perilaku suaminya yang kurang memperhatikan kebersihan diri. Jarang mandi, apalagi berhias diri.
Sang kakak ini pun menyampaikan hal itu kepada Nabi saw. Nabi saw. pun memanggil sang suami itu dengan memberikan nasihat: segala sesuatu itu ada haknya. Dalam dirimu ada hak Allah, juga hak istrimu. Tunaikanlah hak-hak itu dengan sebaik-baiknya.
Setelah muncul pengakuan salah ini, sang suami pun meminta maaf dan mengubah sikapnya tentang bersih diri dan berhias untuk istri.
Jadi, ucapan maaf bukan dimaksudkan sekedar penghias ucapan atau basa basi. Atau, bentuk lain dari manipulasi situasi dan kondisi agar tidak ada konflik yang berkepanjangan. Tapi, ucapan maaf muncul sebagai bentuk kesadaran bahwa ia telah keliru.
Alquran yang agung juga memberikan isyarat pentingnya menguji pandangan yang berseberangan antara sepasang suami istri yang bersitegang. Yaitu, dengan mendatangkan dua orang bijak dari pihak suami dan istri untuk menguji dua pandangan berseberangan itu. Sebelum, pihak suami atau istri menyatakan putus untuk selamanya.
Boleh jadi, tidak ada satu pihak yang dinyatakan keliru. Tapi, cara mengekspresikan pandangan mereka masing-masing itulah yang perlu diluruskan. Pada kasus ini, bukan pandangannya yang salah, tapi teknis atau caranya yang tidak tepat. Mungkin karena soal verbal, suasana pengungkapan, dan lain-lain.
Contoh, seorang suami ingin poligami. Ia bermaksud baik untuk menikahi janda yang terbebani dengan anak-anak yang masih kecil. Dan anak-anak yang yatim itu kebetulan adalah putera dari sahabat karibnya.
Tentu saja pandangan ini ditolak istri. Karena membantu anak-anak yatim bisa dilakukan tanpa harus dengan menikahi ibunya. Jadi, pandangan siapa yang benar dan siapa yang salah?
Pandangan suami benar karena suami berhak untuk poligami, terlebih lagi dengan maksud untuk membantu anak-anak yatim yang juga anak-anak dari sahabatnya yang sudah meninggal dunia. Apakah istri yang salah?
Di mana salahnya? Pandangannya tidak ada yang salah, karena menolong anak-anak yatim bisa dilakukan dengan bantuan rutin, mengangkat anak asuh, dan lain-lain; tanpa harus menikahi ibunya.
Kalau saja pihak suami tidak menyampaikan pandangan baiknya itu langsung kepada istrinya. Melainkan, melalui pihak lain yang bisa diajak diskusi oleh istri. Dalam posisi ini, ajuan rencana poligami itu terkesan akan lebih objektif.
Kalau pun si istri akhirnya menolak, tidak ada pihak yang merasa menang dan kalah. Karena ini masih dalam ruang wacana amal saleh yang tidak langsung bersentuhan dengan kepentingan subjek. Berbeda jika disampaikan langsung, apalagi jika memang sudah terjadi.
Kata maaf memang tampak sederhana. Tapi, pelaksanaannya itu yang sangat berat. Butuh kecerdasan diri untuk bisa menemukan pengakuan. Bahwa, saya memang keliru. Kalaupun kesadaran pengakuan tidak juga diperoleh, perlu mencari orang bijak agar mereka bisa membantu. (Mh/bersambung)