ChanelMuslim.com- Jelang pelantikan Presiden Jokowi oleh MPR-RI, Ahad (20/10), FPKS mengingatkan Pemerintah untuk menyiapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional(RPJMN) 2020-2025. Hal ini sesuai dengan amanat UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional, dimana salah satu isinya mengharuskan Pemerintah memiliki RPJMN paling lambat 3 bulan setelah resmi dilantik.
Wakil Ketua FPKS DPR-RI, Bidang Industri dan Pembangunan, Mulyanto mengakui bahwa diperlukan waktu dan kajian komprehensif untuk menghasilkan RPJMN yang baik. Namun Pemerintah dibatasi waktu oleh Undang-Undang dalam penyusunan RPJMN yang akan diberlakukan. Untuk itu Mulyanto mengimbau Pemerintah untuk lebih cermat memanfaatkan waktu yang disediakan dalam menyusun RPJMN.
“Pertanyaannya, apakah penyusunan RPJMN tersebut akan mengacu pada RPJPN 2005-2025, seperti yang selama ini dilakukan atau akan mengacu pada pada GBHN yang akan dihasilkan MPR Periode 2019-2024?” tegas Mulyanto.
Menurut Mulyanto, semua tergantung pada dua hal. Pertama, kesiapan dan kesungguhan MPR Periode 2019-2024 untuk mengamandemen kembali UUD 1945 dan menetapkan GBHN. Atau kedua, dalam waktu yang terbatas Pemerintah dapat menetapkan RPJMN 2020-2025 di bulan Januari 2020.
“Waktunya sungguh tidak leluasa untuk pekerjaan yang cukup mendasar, karena terkait dengan perubahan Konstitusi kita,” katanya.
Menurutnya ada beberapa hal penting yang perlu dipastikan, agar MPR dapat melangkah ke proses penetapan GBHN tersebut. Pertama, MPR Periode 2019-2024 penting untuk memastikan, bahwa amandemen UUD 1945 ke-5 tidak seperti membuka “kotak Pandora” bagi perubahan pasal-pasal lainnya, yang dapat memicu kegaduhan politik yang lebih besar.
“Ini penting, karena kita menginginkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang kondusif untuk mendukung lancarnya roda pembangunan. Jangan kerap terjadi turbulensi politik yang membuat bising. Iklim yang kondusif sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inklusif,” ujar Mulyanto.
Mulyanto menyinginggung hal ini terkait pertemuan Prabowo Subianto-Surya Paloh, Ahad (13/10) lalu yang sepakat mengusulkan amandemen UUD 1945 secara menyeluruh. “Kita perlu serius mengikuti dinamika politik nasional ini,” tambahnya.
“Jadi, apakah mungkin secara politis hanya melakukan amandemen terbatas, tanpa merembet ke pasal-pasal lainnya. Siapa yang bisa jamin?” tambah Mulyanto.
Kedua, masih menurut Mulyanto, harus dijawab kekhawatiran publik, bahwa penetapan GBHN dianggap akan memperlemah sistem presidensial, apalagi kalau presiden harus mempertanggung-jawabkan GBHN kepada MPR. Sebab, pasca amandemen ke-4, MPR dianggap tidak lagi menjadi lembaga pemegang kedaulatan rakyat, yang mengangkat dan memberhentikan Presiden, meminta pertanggung-jawaban Presiden, serta pemberi mandat kepada Presiden.
“Sekarang kan, kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang. Presiden dipilih langsung oleh rakyat, bukan oleh MPR,” tandasnya.
Menurut Mulyanto, pada Era Orde Baru, GBHN tertuang dalam bentuk TAP MPR. Sejak Era Reformasi, meski UU No. 12 tahun 2011 kembali menetapkan kedudukan hukum TAP MPR berada di bawah UUD 1945, namun itu hanya terbatas pada TAP MPR/MPRS yang masih berlaku sesuai TAP MPR No. I/2003.
Dengan kata lain, TAP MPR yang baru (sejak 2002) bukanlah produk hukum yang berwenang melakukan “pengaturan”, namun hanya sebagai produk hukum berupa “penetapan”. Bila mengikuti logika ini, maka menjadi tidak tepat kalau bentuk hukum GBHN berupa TAP MPR, yang “mengatur”.
“Menurut saya mungkin logika itu yang dipertimbangkan, sehingga dalam Rekomendasi MPR RI masa jabatan 2014-2019 Fraksi PKS bersama Fraksi Partai Golongan Karya dan Fraksi Partai Demokrat berpandangan, bahwa GBHN memungkinkan untuk ditetapkan dalam bentuk Undang-Undang tidak dalam bentuk TAP MPR,” jelas Mulyanto.
Masih menurut Mulyanto, secara substansial program, meski terasa kurang sosialisasi dan terkesan dominan perspektif pemerintah, sebenarnya arah dan haluan negara sudah termuat dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional dan UU. 17/2007 tentang RPJPN 2005-2025.
UU Sistem Perencanaan Nasional telah mengatur perencanaan secara sektoral, spasial dan temporal, baik jangka panjang, jangka menengah dan tahunan. Artinya, bila ingin merevitalisasi GBHN secara subtansial sebenarnya cukup dengan penguatan sosialisasi dan mendorong peran DPR lebih sungguh-sungguh dalam menggodok RPJPN ini.
“Langkah ini jelas lebih simpel,” tegas Mulyanto. [Mh/Ds/Sa]