ChanelMuslim.com – Aku mendekap anakku yang tak henti batuk-batuk, cuping hidungnya kembang kempis pertanda bahwa bayi mungilku berusia 4 bulan itu sesak nafas.
Frekuensi nafasnya 40 kali/menit, kuku tangan dan kakinya mulai kebiruan, demikian juga dengan bibirnya.
Aku mengintip suasana di luar, langit terlihat berwarna merah saga padahal jam di dinding masih menunjukkan pukul 11.20 WIB.
Hatiku gamang, antara keluar menembus kepulan asap itu dan membawa Rahimia buah hatiku ke posko kesehatan terdekat atau aku tunggu saja petugas kesehatan yang sudah dipanggil Bu RT.
Aku tidak punya nomor kontak posko kesehatan maupun petugasnya jadi aku hanya bisa mengabari ibu RT untuk meminta bantuan.
Di rumah, aku hanya berdua dengan Rahimia, suamiku sedang menjadi tenaga sukarelawan membantu memadamkan titik-titik api yang jumlahnya ratusan titik.
Sudah berulang kali aku mencoba menghubungi nomor ponselnya, terdengar nada panggil tapi tidak juga diangkat, mungkin suamiku sedang berjibaku dengan air dan asap juga kobaran api.
Rintihan tangis Rahimia mulai melemah, aku susui dia menolak.
Sekali lagi aku mengintip lewat jendela yang berdebu, sepi, tidak ada tanda-tanda kehidupan, semua orang mengunci diri di rumah masing-masing.
Mata kami sudah terlalu perih, saluran pernafasan kami sering sesak jika memberanikan diri menantang asap dan debu asap yang beterbangan merajai udara yang kami hirup.
Sekolah sudah lebih dari sepekan diliburkan, toko-toko dan warung banyak yang memilih tutup, fasilitas pelayanan publik banyak yang terganggu.
Kota ini sudah seperti kota setengah mati, menakutkan dan tidak sehat.
Mata Rahimia meredup, rintihannya mereda, frekuensi nafasnya yang tadi meningkat kini berangsur mulai menurun dan melemah.
Kuraba kaki dan tangannya, dingin, meski sudah aku hangatkan dengan minyak telon, kupakaikan jaket lalu kubalut dengan selimut, kudekap Rahimia untuk berbagi kehangatan.
“Nak…anak sholehah Ibu, sabar ya, semoga bantuan segera datang.”
Aku berbisik di telinga Rahimia, bayi mungil itu tidak bereaksi
Aku tekan-tekan bagian tengah tulang dadanya, merangsang pernafasannya, Rahimia menggeliat lemah, lalu terlihat menarik nafas panjang.
Rahimia semakin terlihat pucat dan teraba dingin.
Baca Juga: Memperlakukan Ari-ari Bayi dalam Islam
Saat Langit Berwarna Merah Saga, Jiwa Bayi Mungilku Terbang ke Angkasa
Dengan bismilah aku berlari menerobos kabut asap, di bawah langit yang berwarna merah saga, jarak pandang hanya sekitar 10 meter saja.
Rahimia aku dekap erat, aku tidak bisa menutup hidung Rahimia untuk melindungi saluran pernafasannya dari asap karena aku tidak tahu harus menutupnya dengan apa, dan lagi jika aku menutup hidungnya kemungkinan Rahimia akan bertambah sesak nafas.
Aku terus berlari menuju posko kesehatan terdekat yang ternyata tidak dekat.
“Kuat ya sayang, sebentar lagi kita sampai.”
Sebenarnya itu kata-kata penguatan untuk diriku sendiri yang mulai semakin cemas dengan keadaan Rahimia.
“Tolong Bu, anak saya sesak nafas.”
Laporku pada petugas kesehatan yang menyongsong kedatangannku saat tiba di posko kesehatan.
“Tidurkan di sini Bu.”
Aku menurut, menidurkan Rahimia di tempat tidur kecil yang ada di sana.
Dengan sigap petugas kesehatan itu memasangkan kanul oksigen, mengatur posisi tidur Rahimia dengan kepala lebih tinggi.
Kedua ibu jari petugas kesehatan itu menekan-nekan dada Rahimia, petugas yang lain membekap mulut dan hidung Rahimia dengan masker oksigen yang terhubung pada benda menyerupai balon.
Petugas yang satu terus menekan-nekan dada Rahimia berirama, saat jeda petugas yang satunya lagi menekan alat mirip balon, membuat dada Rahimia mengembang, lalu mengempis lagi.
Beberapa menit kemudian kedua petugas kesehatan itu menghentikan aksinya.
“Maaf Bu, bayinya sudah tidak dapat kami selamatkan lagi.”
Di bawah langit berwarna merah saga aku marah, aku kecewa, bukan tidak ikhlas akan kepergian buah hatiku yang sangat aku sayangi, tapi marah dan kecewa pada tangan-tangan biadab yang tega memercikkan api sehingga menyebabkan kebakaran hutan ribuan hektar demi ambisi pribadi untuk mengejar rupiah.
Aku marah dan kecewa pada mulut-mulut tak bertanggung jawab yang mengatakan bahwa kebakaran hutan yang terjadi tidak separah yang diberitakan, mulut-mulut itu dengan lancang mengatakan bahwa semua yang terdampak kabut asap kondisinya baik-baik saja.
Jika tidak bisa bersimpati, berempatilah.
Jika kata-kata yang terucap menyakiti, diamlah.[ind]
sumber: Khayzuran