ChanelMuslim.com – Disertasi mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Abdul Aziz, berjudul “Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrur Sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital” menuai polemik. Sejarah hidup Muhammad Syahrur yang pemikirannya diangkat dalam disertasi Abdul Aziz sendiri sudah sarat dengan kontroversi.
Muhammad Syahrur, sering pula ditulis Muhammad Shahrour, dilahirkan di Damaskus, Suriah, tanggal 11 April 1938. Ia menuntaskan pendidikan dasar dan menengah di kampung halamannya sebelum hijrah ke Moskow, Rusia, pada 1957 untuk menempuh studi teknik sipil berkat beasiswa dari pemerintah Suriah.
Meskipun bukan seorang penganut Marxisme, tulis Charles Kurzman dalam Liberal Islam: A Source Book (1998), namun Syahrur rupanya tertarik terhadap teori-teori Marxis selama di Rusia, yang kelak mempengaruhi pemikiran dan karya-karyanya, termasuk dalam tema-tema Islam.
Syahrur sempat pulang ke Suriah pada 1964 dan mengabdikan diri di Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus. Namun, tak lama kemudian, ia pergi ke Eropa lagi. Kali ini Syahrur ke Irlandia untuk menempuh studi magister dan doktoral dalam bidang mekanika pertanahan serta rekayasa fondasi di University College Dublin. Kembali ke Suriah tahun 1972, Syahrur menjalani karier yang sukses di sebuah perusahaan teknik sipil. Selain itu, ia juga mengabdi di Universitas Damaskus dan mulai berkutat dengan berbagai pemikiran, termasuk mengenai keislaman. Buku pertamanya yang berjudul al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah atau The Book and the Qur’an: A Contemporary Reading, sebut Dale F. Eickelman melalui tulisan bertajuk “Islamic Liberalism Strikes Back” yang terhimpun dalam Middle East Studies Association Bulletin (1993), laris manis di seluruh dunia Arab setelah diterbitkan pada 1990.
Syahrur membutuhkan waktu lebih dari 20 tahun untuk menuntaskan buku perdana setebal 800 halaman ini. Ia mulai menulis buku ini sejak 1967 atau setelah kekalahan Republik Arab Bersatu yang terdiri dari Mesir, Yordania, dan Suriah, dalam Perang Enam Hari melawan Israel. Kekalahan dari Israel dalam perang yang berlangsung sejak tanggal 5 hingga 10 Juni 1967 tersebut membuat nyaris seluruh dunia Arab terhenyak bahkan syok kala itu, atau yang kemudian disebut dengan istilah “Musibah Kemunduran”.
Situasi ini, menurut Loay Mudhoon dalam The Reformist Islamic Thinker Muhammad Shahrur: In the Footsteps of Averroes (2009), mendorong Syahrur untuk mencari jalan keluar atas krisis moral dan intelektual yang melanda dunia Arab, sehingga ia mulai menulis karya pertamanya itu.
Pemikir Islam Kontroversial Muhammad Syahrur tidak bergabung dengan kelompok Islam manapun. Ia juga tak pernah menempuh pelatihan resmi atau memperoleh sertifikat dalam ilmu-ilmu keislaman. Namun, Syahrur adalah profesor (emeritus) Universitas Damaskus di bidang Teknik Sipil yang sering menulis tentang Islam.
Abdul Aziz lewat disertasinya menyebut bahwa Syahrur adalah seorang hermeneut. Bernard Ramm dalam Protestant Biblical Interpretation (1950) mendefinisikan hermeneutika sebagai aliran filsafat yang mempelajari tentang interpretasi atau penafsiran makna suatu naskah, misalnya melalui percobaan. Interpretasi makna ini bahkan bisa digunakan untuk menafsirkan kitab suci. Hermeneutika, sebut Aziz mengutip tulisan Peter Clark berjudul “The Shahrorur’s Phenomenon; A Liberal Islamic Voice From Syiria” dalam Islam and Christian-Muslim Relation (Volume 7, Nomor 3, Oktober 1996) biasa dipakai dalam studi kritik mengenai al-Kitab. Maka, kemungkinan besar, dari sinilah kontroversi atas pemikiran dan karya Muhammad Syahrur itu bermula.
Syahrur, menurut Aziz, tidak seperti sebagian mufasirin yang menafsirkan Alquran dengan mengikuti makna literal dari bahasanya. Namun, Syahrur menafsirkan dengan menelisik lebih jauh makna semantik dan hermeneutis dari ayat tersebut dengan mempertautkan konteks yang mengitari Alquran pada abad ke-7 Masehi. Beberapa karya Syahrur memantik kontroversi di dunia Islam, bahkan dilarang beredar di sejumlah negara.
Bagi mereka yang memuja, Syahrur ibarat Immanuel Kant untuk bangsa Arab atau Martin Luther-nya umat Islam. Sebaliknya, bagi yang kontra terhadapnya, buku-buku hasil pemikiran Syahrur, khususnya al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah, dianggap lebih berbahaya dari karya kontroversial Salman Rushdie yakni The Satanic Verses alias Ayat-Ayat Setan.
Pemikiran Syahrur yang jauh dari mainstream membuatnya justru dimusuhi oleh sebagian orang-orang yang seagama dengannya. Bahkan, tulis Aziz, Syahrur dituding sebagai agen zionis yang akan menghancurkan Islam. Abdul Aziz dalam disertasinya jelas-jelas membeberkan sosok Muhammad Syahrur yang kontroversial, bahkan dibenci oleh sebagian umat Islam sendiri. [MY/dikutip dari Tirtoid]