ChanelMuslim.com – Salah kaprah gawat pendidikan sering diartikan lain atau dilihat sekilas mata saja. Menurut Najelaa Shihab, gawat pendidikan bukan hanya dilihat dari mutu pendidikan di daerah terpencil, tapi jauh lebih dari hal tersebut.
“Jadi yang namanya gawat darurat itu gak cuma di daerah terpencil aja, tapi coba lihatlah sekeliling kita,” ujar Najelaa Shihab saat ditemui ChanelMuslim.com di kawasan Jakarta, Kamis (29/11).
Najelaa mengatakan, ia selalu memiliki pengalaman langsung bertemu dengan orang-orang yang membutuhkan nilai-nilai pendidikan. Ketika banyak yang berpikir gawat darurat hanya di luar Jawa, itu salah besar.
Pengalamannya ikut terjun langsung di daerah Jakarta membuat dirinya sedih. Masih banyak anak-anak khususnya anak jalanan yang kekurangan mutu pendidikan.
Misalnya, ada di daerah Pasar Minggu yang jaraknya lumayan dekat dengan stasiun kereta api, di lokasi tersebut terdapat 540 anak jalanan dengan penampungan hanya satu rumah singgah.
Anak-anak yang ditemui tidak bisa sekolah. Kartu Jakarta Pintar juga tidak dapat karena tidak memiliki KTP atau akta lahir.
“Bayangin, itu didaerah ibu kota, apalagi luar daerah,” jelasnya.
Para orang tuanya mayoritas pengamen, kadang menunggu anak-anaknya belajar di rumah singgah. Baru setelahnya, orang tua mengajak kembali anak-anaknya untuk mengamen hingga larut malam.
“Dan kalau liat kejadian itu merasa masih banyak PR kita bersama,” tambahnya.
Salah kaprah perlu diluruskan agar semua orang peduli, bergerak dam ambil peran sesuai kemampuannya. Siapapun orangnya tidak perlu menyalahkan salah kaprah tersebut, tapi tanyakan pada diri sendiri seberapa besar kontribusi yang telah diberi.
Masalah pendidikan sudah ada dari efek puluhan tahun setelah merdeka. Namun, pendidikan saat itu belum menjadi prioritas. Di lihat sisi pemerintah, anggaran untuk pendidikan masih minim dan belum banyak memberikan pelatihan yang menghasilkan mutu pendidikan. Jadi, masih ada banyak orang dimintai sesuatu, tapi tidak bisa melengkapi kompetensinya.
Jumlah anak-anak yang putus sekolah itu masih banyak, bukan hanya diluar daerah saja. Di sisi yang lain, ada yang memang sekolah, tapi masih belum bisa membaca.
“Belum lagi diliat dari tingkat literasi, ada anak baru bisa baca di tingkat kelas 3 SD. Ada juga yang saya temui di Jakarta, anak itu baru bisa baca umur 12 tahun,” ungkapnya.
Mengenai masalah pendidikan gawat darurat, orang-orang juga salah kaprah dengan melihat sisi sekolahnya saja. Padahal masalah pendidikan juga bentuknya seperti buang sampah sembarangan, korupsi di berbagai level dan masih banyak lagi.
Melihat kenyataan tersebut secara umum, perbaikan pendidikan bukan hanya diujungnya saja, tapi ke hulunya juga.
“Kalau ada yang bilang kita mendapatkan bonus demografi dari banyaknya pemuda, itu bonus apa kalau anak-anaknya gak bisa baca dan gak tau buat mengembagkan minat bakatnya,” tutupnya. (Firda)