FILM animasi berjudul “Merah Putih: One for All”, yang rencananya mulai tayang serentak hari Kamis 14 Agustus 2025, tengah menjadi sorotan publik.
Antusiasme awal yang diharapkan muncul justru berubah menjadi perbincangan hangat di berbagai media sosial, dengan banyak pengguna internet menyoroti sejumlah aspek dari cuplikan film tersebut.
Alih-alih mendapat apresiasi, trailer film ini justru mengundang kritik tajam dari netizen dan beberapa pakar film Indonesia.
Kritik tersebut terutama mengarah pada kualitas visual yang dinilai belum maksimal, mulai dari detail karakter, latar animasi, hingga efek gerak yang dianggap kurang halus untuk standar produksi layar lebar.
Baca juga: Film Dokumenter Mahasiswa UI Masuk Ajang Sony Future Filmmaker Awards 2025 di Los Angeles
Sederet Fakta Film Animasi Merah Putih: One for All yang Menuai Banyak Kritik
Fakta-fakta film Merah Putih: One for All
Visual dinilai kurang memadai
Sejak trailer dirilis, banyak warganet yang menganggap hasil animasi film ini jauh dari harapan, bahkan kalah jauh dari standar animasi Indonesia terbaru seperti Jumbo maupun studio besar dunia.
Kritik ini mencuat lantaran publik telah terbiasa dengan animasi berkualitas tinggi, sehingga Merah Putih: One for All dianggap tidak bisa memenuhi ekspektasi visual penonton.
Anggaran produksi mendapat sorotan
Film ini menghabiskan biaya produksi sebesar sekitar Rp6,7 miliar. Angka tersebut kini menjadi sorotan karena publik mempertanyakan apakah anggaran tersebut tercermin dalam kualitas animasi yang ditampilkan.
Bandingkan dengan animasi Jumbo
Media turut menyoroti perbandingan antara Merah Putih: One for All dan film animasi Jumbo, yang sebelumnya telah mencapai 10 juta penonton dan dinilai memiliki kualitas produksi dan cerita yang lebih memikat.
Hal ini turut memperkuat kritik bahwa film baru ini memiliki visual yang “tak bisa ditawar”, alias jauh dari standar yang diharapkan.
Kritik dari sutradara terkenal dan DPR RI
Sutradara Hanung Bramantyo mempertanyakan alasan film ini dapat slot tayang padahal ratusan judul film Indonesia masih antre untuk diputar di bioskop.
Di sisi lain, Komisi X DPR RI dan anggota DPR seperti Lalu Hadrian Irfani turut mencatat sejumlah kelemahan, terutama soal kualitas visual dan urgensi penayangannya.
Publik curiga proses terburu-buru
Publik juga menyoroti kesan bahwa film ini diproduksi dengan waktu yang terlalu singkat, serta kurang transparansi mengenai latar belakang studio pembuatnya, Perfiki Kreasindo. Namun, produser eksekutif membantah kabar tersebut dan menyatakan proyek ini telah digagas sejak tahun lalu.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Pemerintah tidak menyuntik dana langsung
Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Irene Umar, menegaskan bahwa pemerintah tidak memberikan dana produksi maupun fasilitas promosi secara langsung kepada film ini. Audiensi yang dilakukan hanya untuk memberikan masukan, bukan dukungan finansial.
Sinopsis singkat
Film ini bercerita tentang sekelompok anak dengan latar budaya Betawi, Papua, Medan, Tegal, Jawa Tengah, Makassar, Manado, dan Tionghoa dalam Tim Merah Putih yang bertugas menjaga bendera pusaka jelang 17 Agustus.
Namun, bendera itu tiba-tiba hilang tiga hari sebelum upacara, dan mereka berpetualang melewati sungai, hutan, dan badai untuk menemukannya sambil meredam ego masing-masing.
Meski film ini dimaksudkan sebagai kado HUT RI ke-80, eksekusi yang dinilai terburu-buru serta penggunaan anggaran besar membuatnya sulit diterima oleh sebagian publik dan penggiat perfilman.
Kritik datang tidak hanya dari warganet, tetapi juga dari kalangan profesional, yang menyoroti kualitas visual, alur cerita, dan transparansi proses produksi. [Din]