MULIA dan hina itu bukan subjektif kita. Tapi ada dalam pandangan Allah subhanahu wata’ala.
Di tahun 800-an masehi, ada seorang ulama sufi bernama Abu Yazid Al-Busthami. Ia lahir di Persia pada tahun 804 masehi. Sejak kecil ia sudah mendalami Al-Qur’an, Hadis, dan ilmu fikih mazhab Imam Hanafi.
Kesibukannya difokuskan untuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah. Orang-orang begitu menghormati beliau karena alim dan sufinya.
Di suatu malam, Abu Yazid berjalan sendirian. Ada seekor anjing yang berjalan menuju ke arahnya. Abu Yazid menghentikan langkahnya. Tapi anjing itu terus mendekat ke arahnya.
Ketika sudah sangat dekat, Abu Yazid segera mengangkat jubahnya. Ia khawatir akan tersentuh anjing dan terkena najis.
Saat Abu Yazid mengangkat jubahnya, anjing itu berhenti. Ia menatap Abu Yazid begitu serius. Ulama sufi ini seperti mendapat pengetahuan tentang apa yang diucapkan anjing.
Anjing itu mengatakan, “Kenapa engkau mengangkat jubahmu? Apa karena takut tersentuh tubuhku yang najis ini?”
Abu Yazid terdiam menyimak. Anjing itu melanjutkan, “Padahal jika terkena najisku, engkau bisa mencucinya dengan tujuh kali yang di antaranya dengan air dan tanah. Tapi jika engkau menganggap diriku hina di banding kemuliaanmu, ketahuilah najis di hatimu itu lebih sulit dibersihkan meskipun dicuci dengan tujuh samudera.”
Abu Yazid trenyuh menangkap ungkapan hikmah dari anjing itu. Ia pun meminta maaf. Dan mencoba untuk mengajaknya berjalan bersama.
Tapi, anjing itu menolak: “Bagaimana mungkin engkau yang mulia berjalan denganku yang hina. Orang-orang yang memuliakanmu akan melempariku dengan batu untuk mengusirku. Padahal, aku tak membawa tulang sebagai simpanan makananku. Sementara dirimu, masih ada sekarung gandum untuk persediaan makananmu.”
Anjing itu pun pergi meninggalkan Abu Yazid sendirian. Ia seperti tak bisa melangkah sama sekali. Seekor anjing yang dianggapnya hina dan najis telah memberikan pencerahan luar biasa.
Sejak itu, Abu Yazid tak pernah menganggap rendah hewan apa pun. Ia selalu memuliakan semuanya.
**
Ketika begitu banyak orang memuliakan kita, kita pun merasa mulia. Di saat yang sama, ada perasaan lebih mulia dari orang-orang kecil yang dianggap rendah dan hina.
“Saya siapa, kalian siapa! Saya lebih mulia dari kalian!” Hembusan bisikan setan itu terus membuai kita. Padahal di sisi Allah, tak ada yang lebih mulia kecuali karena takwanya.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “…Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32) [Mh]