LAMAN Psychology Today mendefinisikan Emotional Quotient (EQ) sebagai kemampuan mengidentifikasi dan mengelola emosi diri sendiri serta emosi orang lain.
Teori EQ diperkenalkan pertama kali oleh Peter Salovey dan John D. Mayer pada 1990-an.
Selanjutnya, teori ini dikenalkan kepada masyarakat luas oleh Daniel Goleman.
EQ umumnya mencakup beberapa keterampilan. Pertama, kesadaran emosional.
Kemampuan ini berupa mengidentifikasi emosi diri sendiri dan memahami apa yang mereka rasakan, termasuk emosi negatif, seperti kesedihan atau frustrasi.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Anak yang memiliki kecerdasan emosional dapat mengelola emosi tersebut dan memahami konsekuensinya jika tidak diselesaikan.
Oleh karena itu, mereka memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan realistis tentang diri mereka sendiri.
Kedua, kecakapan mengelola emosi.
Kemampuan ini meliputi keterampilan mengatur emosi diri sendiri ketika diperlukan dan kecakapan dalam membantu orang lain melakukan hal yang sama.
Anak yang memiliki kecerdasan emosional tidak bersikap impulsif atau terburu-buru karena mereka berpikir sebelum bertindak.
Hal ini menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mengurangi intensitas emosi atau kecemasan (down-regulation).
Mengenal Lebih Dekat Emotional Quotient
Kemampuan tersebut membuat anak yang ber-EQ tinggi mampu beralih dan meredakan suasana hati, baik secara internal maupun eksternal.
Selain emosinya sendiri, anak yang ber-EQ tinggi juga peka terhadap emosi orang lain.
Nah, bersikap peka terhadap orang lain memudahkan hubungan dengan orang lain.
Hal ini membuat anak dengan EQ tinggi dapat menjadi teman, mentor, pasangan, serta pemimpin yang lebih baik.
Baca juga: Mengenal Pembajakan Emosi dan Cara Mengatasinya
Dikutip dari artikel “Why Emotional Intelligence is Important in Leadership” yang diposting di Harvard Business School, 71 persen pemberi kerja lebih menghargai kecerdasan emosional ketimbang keterampilan teknis saat mengevaluasi calon karyawan.
Pasalnya, karyawan dengan kecerdasan emosional tinggi lebih tenang saat menghadapi tekanan.
Mereka juga dapat menyelesaikan konflik secara efektif dan menanggapi rekan kerja dengan empati.
Sebaliknya, individu dengan EQ rendah mungkin kesulitan menyampaikan gagasan dengan jelas, memahami sudut pandang orang lain, atau menyelesaikan konflik secara efektif.[Sdz]