MENCERITAKAN amal saleh yang kita lakukan kepada orang lain tidaklah mengapa.
Hal ini dijelaskan oleh Ustaz Farid Nu’man Hasan, sebagaimana seorang guru yang menanyakan hasil kerjaan, tugas hapalan, siswanya dan si guru memberikan batas waktu.
Ini adalah tuntutan profesionalitas dalam beramal.
Ini pun dilakukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya.
Tidak mengapa menulis nama dalam list penyumbang, atau laporan masjid, sebab ini termasuk yang dibolehkan oleh syariat sebagaimana penjelasan sebelumnya.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bercerita tentang amal shalihnya:
وإني لأستغفر الله، في اليوم مائة مرة
Aku benar-benar beristighfar kepada Allah dalam sehari 100 kali. (HR. Muslim, 2702/41).
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Riwayat lainnya:
يا أيها الناس توبوا إلى الله، فإني أتوب، في اليوم إليه مائة، مرة
Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah, sesungguhnya dalam sehari aku bertaubat kepadaNya seratus kali. (HR. Muslim, 2702/42).
Para sahabat pun juga. Perhatikan dialog berikut ini.
Dari Abu Hurairah dia berkata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda “Siapakah diantara kalian yang hari ini berpuasa?” Abu Bakar menjawab “Saya wahai Rasulullah.”
Rasulullah bertanya lagi“Siapakah diantara kalian yang hari ini mengantar janazah?” Abu Bakar menjawab “Saya wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi “Siapakah diantara kalian yang hari ini memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab “Saya wahai Rasulullah.”
Rasulullah bertanya lagi “Siapakah diantara kalian yang hari ini menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab “Saya wahai Rasulullah.”
Rasulullah bersabda “Tidaklah semua amal di atas terkumpul dalam diri seseorang melainkan ia akan masuk surga.” (HR. Muslim No. 1028).
Melaporkan dan Menceritakan Amal Saleh
Inilah Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu, dia tidak perlu malu untuk melaporkan apa yang sudah dia lakukan hari itu, setelah Nabi bertanya.
Maka, tidak masalah seseorang menceritakan amalnya, yang penting tidak bermaksud memamerkannya, dan membanggakannya, tetapi agar orang lain mendapatkan ‘ibrah (pelajaran) darinya.
Pendengar pun tidak dibebani untuk membedah hati orang yang melaporkannya.
Itu tidak perlu, tidak penting, dan tidak masyru’. Justru, yang masyru’ adalah kita mesti husnuzhzhan kepadanya.
Baca juga: Menampakkan dan Menyembunyikan Amal Saleh, Keduanya Mulia
Para ulama mengatakan:
إحسان الظن بالله عز وجل وبالمسلمين واجب
Berprasangka yang baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan kaum muslimin adalah wajib. (Imam Badruddin Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 29/325).
Kisah lainnya:
Dari Jabir bin Abdullah katanya “Saya diperintahkan nabi untuk datang, saat itu beliau hendak pergi ke Bani Musthaliq. Ketika saya datang beliau sedang shalat di atas kendaraannya. Saya pun berbicara kepadanya dan beliau memberi isyarat dengan tangannya seperti ini. Saya berbicara lagi dan beliau memberi isyarat dengan tangannya, sedangkan bacaan shalat beliau terdengar oleh saya sambil beliau menganggukkan kepala. Setelah beliau selesai shalat beliau bertanya: “Bagaimana tugasmu yang padanya kamu saya utus? Sebenarnya tak ada halangan bagi saya membalas ucapanmu itu, hanya saja saya sedang shalat.” (HR. Muslim No.540, Ahmad No. 14345, Abu Daud No. 926, Abu ‘Awanah, 2/140, Ibnu Khuzaimah No. 889, Ibnu Hibban No. 2518, 2519).
Dalam kisah ini, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminta laporan kerja dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu tanpa harus khawatir riya-nya Jabir jika dia melaporkannya.
Banyak sekali kitab yang menceritakan para ulama yang berkisah tentang ibadahnya, shaumnya, shalatnya, jihadnya, bahkan mimpinya.
Tentu kita berbaik sangka, jangan menuduh mereka telah riya dalam penceritaannya.[Sdz]