RUMAH itu keadaan dalam luar kita. Cermati rumah kita karena itulah keadaan hidup kita.
Seorang kakek berkunjung ke rumah baru cucunya. Rumahnya tidak terlalu besar, tapi asri dan nyaman.
“Bagaimana menurut kakek tentang rumah ini? Bagus kan!” ucap sang cucu ke kakeknya.
Sang cucu seperti memperlihatkan keadaan dalamnya: ruang tamu, ruang keluarga, dapur, dan kamar. Semuanya full keramik bagus. Perpaduan warna dinding dan kusen pun begitu serasi.
“Bagaimana, Kek?” tanya sang cucu lagi.
Sang kakek belum juga menjawab. Ia seperti tak tertarik dengan suasana ruang-ruang yang begitu harmoni. Ia justru berjalan keluar rumah.
“Kek, Kakek mau kemana?” tanya sang cucu sambil mengikuti langkah kakeknya ke depan, samping, dan belakang. Tapi, mata dan perhatian sang kakek tetap tertuju ke rumah cucunya.
“Hmmm…, ya, rumahmu bagus,” jawabnya singkat.
“Kenapa menilai rumahnya dari luar, Kek? Kan dari dalam sudah kelihatan bagus,” sergah sang cucu, heran.
“Cucuku, yang utama dalam menilai rumah itu dari postur bangunannya. Apakah ia tegak atau miring? Apakah ia berada di posisi yang aman atau labil? Dan itu hanya bisa dilihat dari luar,” ungkap sang kakek yang direspon anggukan cucunya.
**
Jiwa narsis kita kadang menutup pandangan kritis tentang diri, keluarga, dan organisasi. Yaitu, ketika kita menutup penilaian pihak luar tentang kita.
Kita terjebak dalam pesona suasana ‘dalam’ yang sebenarnya hanya aksesoris. Padahal, kita sangat membutuhkan penilaian dari luar tentang kita. Dan penilaian objektif tentang itu hanya bisa diperoleh dari ‘pihak luar’.
Karena itu, biasakan untuk membuka kritik dan masukan dari ‘luar’ kita, agar ‘rumah’ kita yang ‘miring’ tidak tiba-tiba ambruk tanpa kesadaran kita. [Mh]