PENJELASAN tentang niat puasa dan juga niat ibadah lain. Niat merupakan pangkal dari bagus atau tidaknya amal seseorang, terutama dalam ibadah.
Namun, tidak sedikit dari kita yang kadang direpotkan dengan lafal atau ucapan niat dari sebuah ibadah yang akan kita lakukan.
Sebenarnya, seperti apakah niat yang benar dalam ibadah yang akan kita lakukan.
Berikut uraian tentang niat, dan bagaimanakah cara berniat yang baik seperti yang diajarkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan dijelaskan oleh para ulama.
Pertama, dari mana asal melafalkan niat?
Munculnya anjuran melafalkan niat ketika beribadah, berawal dari kesalahpahaman terhadap pernyataan Imam As-Syafi’i terkait tata cara shalat. Imam As-Syafi’i pernah menjelaskan:
الصَّلَاةِ لَا تَصِحُّ إلَّا بِالنُّطْقِ
“….shalat itu tidak sah kecuali dengan an-nuthq.” (Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 3: 277)
An nuthq artinya berbicara atau mengucapkan.
Sebagian Syafi’iyah memaknai an nuthq di sini dengan melafalkan niat. Padahal, ini adalah salah paham terhadap maksud beliau rahimahullah.
Dijelaskan oleh An Nawawi bahwa yang dimaksud dengan an nuthq di sini bukanlah mengeraskan bacaan niat. Namun maksudnya adalah mengucapkan takbiratul ihram.
An-Nawawi mengatakan,
قَالَ أَصْحَابُنَا غَلِطَ هَذَا الْقَائِلُ وَلَيْسَ مُرَادُ الشَّافِعِيِّ بِالنُّطْقِ فِي الصَّلَاةِ هَذَا بَلْ مُرَادُهُ التَّكْبِيرُ
“Ulama kami (syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang yang memaknai demikian adalah keliru. Yang dimaksud As Syafi’i dengan an nuthq ketika shalat bukanlah melafalkan niat namun maksud beliau adalah takbiratul ihram’.”
(Al Majmu’, 3: 277).
Kesalahpahaman ini juga dibantah oleh Abul Hasan Al Mawardi As Syafi’i, beliau mengatakan,
فَتَأَوَّلَ ذَلِكَ – الزُّبَيْرِيُّ – عَلَى وُجُوبِ النُّطْقِ فِي النِّيَّةِ ، وَهَذَا فَاسِدٌ ، وَإِنَّمَا أَرَادَ وُجُوبَ النُّطْق بِالتَّكْبِيرِ
“Az Zubairi telah salah dalam menakwil ucapan Imam Syafi’i dengan wajibnya mengucapkan niat ketika shalat. Ini adalah takwil yang salah, yang dimaksudkan wajibnya mengucapkan adalah ketika ketika takbiratul ihram.”
(Al-Hawi Al-Kabir, 2: 204).
Baca Juga: Syarat Niat Puasa Ramadan
Inilah Penjelasan tentang Niat Puasa dan Ibadah Lain
Karena kesalahpahaman ini, banyak kiyai yang mengklaim bermazhab Syafiiyah di tempat yang mengajarkan lafal niat ketika shalat.
Selanjutnya, masyarakat memahami bahwa itu juga berlaku untuk semua amal ibadah. Muncullah lafal niat wudhu, niat tayamum, niat mandi besar, niat puasa, niat zakat, niat sedekah, dst.
Sayangnya, kiyai tidak mengajarkan lafal niat untuk semua bentuk ibadah. Di saat itulah, banyak masyarakat yang kebingungan, bagaimana cara niat ibadah yang belum dia hafal lafalnya?
Itu artinya, anjuran melafalkan niat yang diajarkan sebagian dai, telah menjadi sebab timbulnya keraguan bagi masyarakat dalam kehidupan beragamanya.
Padahal, ragam ibadah dalam Islam sangat banyak. Tentu saja, masyarakat akan kerepotan jika harus menghafal semua lafal niat tersebut.
Padahal bukankah Islam adalah agama yang sangat mudah? Jika demikian, berarti itu bukan bagian dari syariat Islam.
Beberapa waktu yang lalu, kami mendapat pertanyaan yang cukup aneh, bagaimana lafal niat sahur yang benar?
Meskipun pertanyaan ini bukan main-main, namun kami sempat terheran ketika ada orang yang sampai kebingungan dengan niat sahur.
Bukankah ketika orang itu makan menjelang subuh, dalam rangka berpuasa di siang harinya, bisa dipastikan dia sudah berniat sahur?
Lagi-lagi, menetapkan amal yang tidak disyariatkan, pasti akan memberikan dampak yang lebih buruk dari pada manfaat yang didapatkan.
Kedua, sesungguhnya niat adalah amal hati.
Siapapun ulama sepakat dengan hal ini. Niat adalah amal hati, dan bukan amal lisan.
Imam An-Nawawi mengatakan:
النية في جميع العبادات معتبرة بالقلب ولا يكفي فيها نطق اللسان مع غفلة القلب ولا يشترط
“Niat dalam semua ibadah yang dinilai adalah hati, dan tidak cukup dengan ucapan lisan sementara hatinya tidak sadar. Dan tidak disyaratkan dilafalkan,…” (Raudhah at-Thalibin, 1:84)
Dalam buku yang sama, beliau juga menegaskan:
لا يصح الصوم إلا بالنية ومحلها القلب ولا يشترط النطق بلا خلاف
“Tidak sah puasa kecuali dengan niat, dan tempatnya adalah hati. Dan tidak disyaratkan harus diucapkan, tanpa ada perselisihan ulama…” (Raudhah at-Thalibin, 1:268)
Dalam I’anatut Thalibin –salah satu buku rujukan bagi syafiiyah di Indonesia–, Imam Abu Bakr ad-Dimyathi As-Syafii juga menegaskan:
أن النية في القلب لا باللفظ، فتكلف اللفظ أمر لا يحتاج إليه
“Sesungguhnya niat itu di hati bukan dengan diucapkan. Memaksakan diri dengan mengucapkan niat, termasuk perbuatan yang tidak butuh dilakukan.” (I’anatut Thalibin, 1:65).
Tentu saja keterangan para ulama dalam hal ini sangat banyak. Semoga 3 keterangan dari ulama syafiiyah di atas, bisa mewakili.
Mengingat niat tempatnya di hati, maka memindahkan niat ini di lisan berarti memindahkan amal ibadah bukan pada tempatnya. Dan tentu saja, ini bukan cara yang benar dalam beribadah.
Ketiga, inti niat.
Mengingat niat adalah amal hati, maka inti niat adalah keinginan. Ketika kamu menginginkan untuk melakukan seuatu maka kamu sudah dianggap berniat, baik amal ibadah maupun selain ibadah.
Ketika kamu ingin makan, kemudian kamu mengambil makanan sampai kamu memakannya, maka kamu sudah dianggap niat makan.
Demikian halnya ketika kamu hendak shalat dzuhur, kamu mengambil wudhu kemudian berangkat ke masjid di siang hari yang panas, sampai kamu melaksanakan shalat, tentu kamu sudah dianggap berniat.
Artinya modal utama niat adalah kesadaran. Ketika kamu sadar dengan apa yang akan kamu kerjakan, kemudian kamu berkeinginan untuk mengamalkannya, kamu sudah dianggap berniat.
Ketika kamu sadar bahwa besok Ramadan, kemudian kamu bertekad besok akan puasa maka kamu sudah dianggap berniat.
Apalagi jika malam harinya kamu taraweh dan makan sahur. Tentu ibadah semacam ini tidak mungkin kamu lakukan, kecuali karena kamu sadar bahwa esok pagi kamu akan berpuasa Ramadan. Itulah niat.
Syaikhul Islam pernah ditanya seperti berikut:
Bagaimana penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang niat puasa Ramadhan; apakah kita harus berniat setiap hari atau tidak?
Jawaban beliau:
كُلُّ مَنْ عَلِمَ أَنَّ غَدًا مِنْ رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ صَوْمَهُ فَقَدْ نَوَى صَوْمَهُ سَوَاءٌ تَلَفَّظَ بِالنِّيَّةِ أَوْ لَمْ يَتَلَفَّظْ . وَهَذَا فِعْلُ عَامَّةِ الْمُسْلِمِينَ كُلُّهُمْ يَنْوِي الصِّيَامَ
“Setiap orang yang tahu bahwa esok hari adalah Ramadan dan dia ingin berpuasa, maka secara otomatis dia telah berniat berpuasa.
Baik dia lafalkan niatnya maupun tidak ia ucapkan. Ini adalah perbuatan kaum muslimin secara umum; setiap muslim berniat untuk berpuasa.” (Majmu’ Fatawa, 6:79)
Keempat, niat puasa Ramadan
Untuk puasa wajib, seorang muslim wajib berniat sebelum masuk waktu subuh. Hal ini berdasarkan hadis dari Hafshah radhiallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من لم يُبَيِّتِ الصيامَ من الليل فلا صيامَ له
“Barangsiapa yang belum berniat puasa di malam hari (sebelum subuh) maka puasanya batal.” (HR. An Nasa’i dan dishahihkan Al Albani)
Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ، فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa yang belum berniat puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Abu Daud, Ibnu khuzaimah, baihaqi)
Ketentuan ini berbeda dengan puasa sunah. Berdasarkan riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemui Aisyah di siang hari di luar Ramadan, kemudian beliau bertanya:
هَلْ عِنْدَكُمْ غَدَاءٌ؟ وَإِلَّا , فَإِنِّي صَائِمٌ
“Apa kamu punya makanan untuk sarapan? Jika tidak, saya akan puasa.” (HR. Nasai, Ad-daruquthni, Ibnu Khuzaimah)
Kelima, apakah boleh berniat puasa langsung sebulan penuh, ataukah harus tiap malam mengulang niat?
Pada prinsipnya, ketika kamu sadar bahwa besok pagi mau puasa, maka kamu sudah dianggap berniat. Apalagi jika kamu makan sahur. Bisa dipastikan kamu sudah niat.
Namun bolehkah seseorang melakukan niat di awal Ramadan untuk berpuasa penuh satu bulan? Andaipun jika lupa atau ada faktor lainnya, sehingga tidak sempat berkeinginan puasa, kamu tetap sah puasanya.
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Insya Allah pendapat yang kuat adalah boleh. (Mh/ind]
Sumber: #SerialRamadhan