NIAT puasa Ramadan sama seperti ibadah pada umumnya, bahwa setiap ibadah pastilah mempunyai rukun yang menjadi batasan sah atau tidak sah-nya ibadah tersebut.
Yakni jika rukun terpenuhi, maka ibadah dinyatakan sah. Dan jika tidak terpenuhi, maka ibadah tidak dinyatakan sah.
Baca Juga: Puasa Tapi Keliru, Saatnya Periksa Puasa Kita
Syarat Niat Puasa
Begitu juga puasa. Ibadah ini juga punya rukun yang menjadi tolak ukur apakah ibadah puasa sah atau tidak. Dan rukun puasa itu hanya ada 2, yakni; Niat, dan Imsak; yakni menahan.
Biasanya, yang langsung terpatri dalam otak orang muslim Indonesia kebanyakan ketika mendengar kata niat puasa adalah redaksi yang masyhur:
“Nawaitu shauma ghadi ‘an adaa’I fardhi Ramadhan hadzihi al-sanah lilla ta’ala”
Kemudian muncul pertanyaan; benarkah niat dengan redaksi itu harus diucapkan? Dan apakah redaksi semacam itu pernah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu alahi wa sallam.
Jawabannya jelas tidak ada contohnya, tidak dari Nabi Shallallahu alahi wa sallam, tidak juga dari sahabat, tidak juga dari kalangan tabi’in dan pengikutnya.
Tapi yang harus diketahui adalah bahwa niat puasa itu punya syarat-syaratnya. Dalam al Mausu’ah al-Fiqhiyah Kuwait (28/21), syarat niat yang disepakati para ulama madzhab itu ada 4:
Jazm جزم Yakin
Seorang muslim yang berniat haruslah yakin dengan niatnya, tidak gamang.
Seperti mengatakan: “Kalau besok enggak jadi safar, saya puasa. Kalau jadi saya enggak puasa!”. Harus yakinkan diri.
Ta’yiin تعيين Ditentukan
Ta’yin itu jika diterjemahkan secara bahasa ke dalam bahasa Indonesia adalah menentukan.
Maksudnya adalah niat puasa itu haruslah memberikan spesifikasi atas ibadah yang ingin dikerjakan, dalam hal ini puasa.
Jadi, dalam niat harus ditentukan puasanya itu puasa apa? apakah ini puasa wajib atau bukan? Lalu kalau wajib, ini wajib apa?
Apakah Ramadan atau nadzar, atau qadha? Harus ditentukan dengan jelas.
Karena syarat kedua inilah kemudian muncul redaksi dari ulama untuk memudahkan umat Muslim: “Puasa esok hari, wajib bulan Ramadan tahun ini”.
Tidak cukup hanya dengan niat secara mutlak tanpa ditentukan jenisnya.
Karena puasa adalah ibadah yang berkaitan dengan waktu (hari), maka harus ditentukan waktunya, agar tidak tercampur dengan puasa lain.
Ini adalah pendapat al-Malikiyah, al-Syafi’iyyah dan al- Hanabilah. (al-Majmu’ 2/50, al-Mughni 3/109).
Namun, bagi kalangan al-Hanafiyah, tidak perlu adanya penentuan puasa dalam niat, cukup dengan niat puasa mutlak saja tanpa ditentukan jenisnya.
Karena yang namanya puasa Ramadan itu tidak mungkin dilakukan di luar Ramadan. Ketika ada yang berniat puasa, pastilah itu untuk Ramadan.
Terlebih lagi bahwa puasa itu ibadah yang mudhoyyaq (waktunya sempit), satu hari itu hanya cukup untuk satu puasa. Jadi mana mungkin ia berniat selain utnuk Ramadan? (Radd al-Muhtarr 2/378).
Tabyiit تبييت Pengukuhan
Harus dikukuhkan niat tersebut di malam sebelum hari yang ingin dilakukan puasa itu datang, yaitu setelah terbenam matahari sampai menjelang terbit fajar hari itu.
Ini didasarkan kepada hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
“Siapa yang tidak berniat puasa di malam hari sampai terbit fajar, maka tidak ada puasa baginya” (HR. Ibnu Majah, an-Nasa’i dan Ahmad).
Tajdid تجديد Diperbaharui
Dari salah satu syarat di antara syarat-syarat niat tersebut ialah Tajdid al-Niyyah [يةُان ُتجديد ,[yaitu memperbaharui niat di setiap malam Ramadan.
Ini adalah pendapat Jumhur ulama dari 4 mazhab fiqih, selain madzhab Imam Malik. Mazhab Imam Daar al-HIjrah ini melihat bahwa tidak perlu adanya pembaharuan niat di setiap malam Ramadan.
Baca Juga: Hal-hal yang Harus Dihindari Ketika Berpuasa
Fungsi Niat
“Amal manusia itu tergantung kepada niatnya, dan manusia akan mendapat apa yang ia niatkan”.
Hadis ini disepakati kesahihannya bahwa benar-benar bersambung kepada Nabi Shallallahu alahi wa sallam, dan dari hadis ini juga ulama menyimpulkan banyak hal.
Ulama mengatakan dari hadis ini, Nabi Shallallahu alahi wa sallam memposisikan niat sebagai instrumen penting dalam setiap amal orang muslim.
Niat bukan hanya pelengkap lisan, atau juga dekorasi bibir, tapi punya posisinya yang sangat menentukan.
Secara otomatis, orang berfikir bahwa untuk mendapatkan pahala, pekerjaan itu juga harus diniatkan sebagai ibadah.
Haruskah dengan Nawaitu Shauma .…?
Ulama yang menciptakan redaksi tersebut ialah Imam al-Rafi’i al-Quzwaini (w. 623 H) dari kalangan al-Syafi’iyyah.
Beliau menuliskan redaksi niat tersebut dalam kitabnya Fathul-‘Aziz bi Syarhi al Wajiz atau biasa yang disebut dengan istilah al-Syarhu al-Kabir li al-Rafi’iy (6/293).
Hal itu sebagai implementasi atas syarat-syarat niat tersebut guna memudahkan bagi para muslim ketika ingin berniat puasa Ramadan.
Yang kemudian, niat tersebut kembali ditulis ulang oleh Imam al-Nawawi dalam kitabnya Raudhah al-Thalibin yang akhirnya menjadi familiar dan banyak diamalkan kebanyakan muslim.
Apakah boleh berbeda?
Berdasarkan keterangan di atas, boleh berniat dengan bahasa Indonesia saja, atau bahasa masing-masing daerah. Yang penting adalah syarat-syarat niat yang 4 itu harus terpenuhi.
Mayshurnya, redaksi niat dengan bahasa Arab yang disebutkan di atas bukanlah menjadi syarat bahwa memang harus begitu jika ingin berniat. Demikian. Wallahu a’lam.[wmh/ind]
Sumber: Buku Saku Ramadhan, penulis Ahmad Zarkasih, Lc , penerbit Rumah Fiqih Publishing