SABAR itu kunci sukses di semua hal: ilmu, pekerjaan, karir, pertemanan, persaudaraan, dan perjuangan. Jika tak mau sabar, kesuksesan sulit diraih.
Allah mengajarkan sabar sejak kita masih bayi. Perhatikanlah saat bayi belajar tengkurap. Ia tak langsung bisa. Coba lagi, dan coba lagi.
Begitu pun saat ia belajar berjalan. Coba, jatuh, dan bangun. Putaran pengalaman inilah yang terus berulang. Jika ia sabar, ia sukses.
Yang namanya coba, jatuh, dan bangun; bukan pengalaman yang menyenangkan. Terasa sakit. Bahkan ada luka, tangis, dan darah.
Di semua tahapan perkembangan manusia, hal ini terus berulang. Yaitu sabar untuk menunggu sukses di pengalaman coba, jatuh, dan bangun.
Allah subhanahu wata’ala mengajarkan sabar di banyak firman-Nya. Antara lain dalam Surah Al-Ashr, ada beberapa hal yang berkaitan dengan sabar: waktu, iman, amal, dan tausiyah. Dan kata sabar di ayat ini masuk dalam tausiyah.
Sabar butuh waktu. Ungkapan coba lagi dan coba lagi, tentu butuh waktu sesuai kemampuan kita.
Sabar juga harus ditopang dengan iman dan amal. Di situlah sabar menjadi sangat bernilai. Karena maling pun berlaku sabar dalam keburukannya. Ia menunggu saat yang tepat, coba lagi dan coba lagi.
Ketika sabar masuk dalam nilai tausiyah, bobotnya menjadi jelas. Tidak mengawang dalam tataran teoritis. Tapi wujud dalam pengalaman si penyampai tausiyah.
Seolah kita butuh wujud sabar dalam pengalaman nilai historis seseorang. Itulah kenapa orang tua merasa memiliki itu terhadap anak-anaknya, guru terhadap siswanya, tokoh sepuh terhadap generasi mudanya, dan lainnya.
Dikatakan nilai historis karena rute hidup kerap kali berulang. Terjadi di tikungan ini dan itu. Beratnya saat di tanjakan. Dan, bahayanya di kala turunan.
Ketika si pemilik nilai historis ini mengatakan, “Sabar…sabar…sabar!” Maknanya menjadi sangat berbobot. Karena kata sederhana itu dipancarkan melalui pengalaman kuat dari coba, jatuh, dan bangun.
Dalam sudut pandang lain, kita akan menemukan nilai sabar setelah merasakan sakit dari goresan luka fisik dan jiwa. Itulah kenapa orang tua yang bijaksana ingin anak-anaknya melalui rute itu. Bukan melalui jalan datar yang nyaman.
Karena begitulah Yang Maha Kasih dan Sayang juga mengajarkan nilai sabar seperti itu. Kalau Ia berkehendak, semua manusia bisa langsung beriman dan bertakwa.
Namun, nilai hikmahnya tidak seperti itu. Ada rutinitas amal-amal berat yang harus ditempuh oleh orang-orang mulia saat itu: Nabi dan para salafus soleh.
Dan nilai capaian yang mereka raih bukan sekadar sukses dalam hasil. Tapi juga dalam nilai sabar yang Allah ajarkan dan benamkan dalam jiwa mereka.
Sabar itu butuh waktu. Juga harus ditopang dalam dasar iman dan amal. Dan, terus menghargai nilai rutinitas tausiyah.
Teruslah dalam sabar yang tanpa batas. Karena Allah subhanahu wata’ala mencintai orang yang sabar. [Mh]