KHILAFIYAH itu hal biasa dalam Islam. Hal ini karena para ulama berbeda pendapat dalam penafsiran. Dan biasanya berkaitan tentang masalah cabang atau furu’ dalam Islam.
Islam itu rahmat atau kasih sayang dari Allah subhanahu wata’ala. Dengan Islam, umat manusia tetap berada dalam jalan yang lurus yang dibimbing Allah melalui para nabi-Nya.
Dalam Islam sebuah ketentuan hukum tidak bisa hanya melalui karangan. Meskipun karangan itu datang dari seorang ulama.
Sumber-sumber hukum dalam Islam adalah Al-Qur’an, Sunnah atau Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ijma’, dan qiyas. Meskipun sebagian ulama tidak menjadikan qiyas sebagai sumber hukum.
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama tentang penetapan sebuah hukum. Bisa jadi, ulama tidak bisa bersepakat dalam sebuah hukum. Hal ini karena perbedaan penafsiran, dan lainnya. Hal itulah yang biasa disebut khilafiyah.
Namun begitu, khilafiyah tidak pada wilayah yang dasar, seperti tentang akidah. Melainkan pada hal-hal yang cabang dalam hukum Islam. Misalnya dalam hal fikih.
Meski begitu, kadang umat dibawa dalam pengkondisian baru bahwa khilafiyah menjadi hal prinsip. Melalui media sosial, jutaan umat tergiring dalam suasana yang sama.
Seolah-olah kalau mengikuti penafsiran A, maka umat menjadi salah beragama. Aksi sama dengan reaksi. Aksinya ‘panas’, maka reaksinya pun menjadi tidak kalah ‘panas’.
Fenomena ‘memancing-mancing’ di air keruh ini rasanya sebagai hal baru yang tidak dikenal para ulama sepanjang sejarah Islam. Khususnya, sama-sama dalam koridor ahlus sunnah.
Yang dicontohkan justru sebaliknya. Para ulama boleh saja tidak sepakat dalam sebuah penafsiran dalil hukum. Tapi, mereka tetap sepakat dalam barisan ukhuwah yang sama.
“Adzillah ‘alal mu’minin, A’izzah ‘alal kaafirin”. Allah mengajarkan bahwa umat Islam itu saling berendah hati sesama mereka. Tapi bertegas hati terhadap orang kafir.
Bukan menjadi sebaliknya, sesama muslim menjadi begitu keras, sementara terhadap orang kafir sebegitu lembut dan hormatnya.
Apakah ada pihak ketiga yang ‘bermain’? Kemungkinannya selalu terbuka lebar. Kalau tidak bisa membendung Islamisasi dunia, maka buat umat Islam berpecah belah.
Dan benih-benih perpecahan itu disemai dalam bentuknya yang kecil. Bukan tentang hal akidah dan persoalan yang strategis. Tapi tentang hal remeh temeh tentang niat ibadah yang diucapkan atau tidak, tentang wudhu yang bersentuhan pria dan wanita, tentang Surah Al-Fatihah, dan lainnya.
Disadari atu tidak, dunia medsos bisa bergerak liar tak terkendali. Umat pun terjebak dalam friksi pendapat yang berseberangan, dan lupa bahwa yang dipermasalahkan merupakan hal cabang, mungkin juga ranting dalam Islam.
Menunjukkan kemampuan hujjah pribadi dan golongan yang ditujukan untuk merendahkan pribadi dan kelompok lain sama sekali tidak tercantum dalam akhlak dan adab Islam. Terlebih dalam hal yang cabang tadi.
Imam Malik rahimahullah pernah berpesan, al-Adab fauqal ilmi. Adab berada di atas ilmu. Adab menunjukkan ketinggian ilmu seseorang. Bukan sebaliknya.
Selalulah banyak-banyak ‘minum pil’ sabar. Sabar bahwa ukhuwah dalam umat ini merupakan hal yang utama. Bukan tentang siapa yang sahih dan yang salah.
Saling menasihati tentu tidak untuk saling merendahkan, apalagi menjatuhkan. Melainkan untuk saling meningkatkan kesabaran dan kasih sayang. [Mh]